Ketika turun ayat tentang memintakan ampunan untuk orang munafiq, yaitu pada ayat:

“اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ”

Artinya: “Engkau memintakan ampun ataupun tidak memintakan ampun untuk mereka (orang munafiq), jika engkau memintakan ampun untuk mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka Allah tidak akan mengampuninya”(QS. At Taubah: 80).

Baginda Nabi SAW dengan sifat rahmatnya, memahami berbeda dengan dzahirnya. Dimana secara dzahirnya, ayat ini menjelaskan, bahwa memintakan ampun atau tidak adalah sama saja, yaitu Allah tidak akan memberikan ampunan kepada orang munafiq.

Baginda Nabi adalah orang arab yang paling fashih, sehingga tahu makna dari bilangan tujuh puluh. Secara kebiasaan orang Arab ketika menyebutkan bilangan tujuh puluh, yang dimaksud adalah bilangan sempurna, yang artinya sangat banyak.

Dengan demikian, maknanya adalah Allah tidak akan mengampuni mereka meskipun baginda Nabi memintakan maghfirah sebanyak-banyaknya. Akan tetapi baginda Nabi lebih memilih makna asli (bukan majaz) dari bilangan tujuh puluh ini.

Baginda Nabi menangguhkan maknanya, dengan artian Allah tidak melarang untuk memintakan ampun untuk mereka. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits:

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid