Maulana Syarif Sidi Syaikh Dr. Yusri Rusydi Sayid Jabr Al Hasani saat menggelar Ta’lim, Dzikir dan Ihya Nisfu Sya’ban (menghidupkan Nisfu Say’ban) di Ma’had ar Raudhatu Ihsan wa Zawiyah Qadiriyah Syadziliyah Zawiyah Arraudhah Ihsan Foundation Jl. Tebet Barat VIII No. 50 Jakarta Selatan, Jumat (19/4/2019). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com – Syekh Yusri hafidzahullah Ta’ala wa ro’ah menjelaskan dalam pengajian Shahih Bukhari, bahwa bertabarruk (mengalap keberkahan) adalah merupakan sunnah para Sahabat baginda Nabi SAW. Baginda Nabi SAW adalah seorang Pemimpin yang sekaligus menjadi rujukan dari para sahabatnya pada segala hal. Baginda sebagai seorang hakim, yang memberikan putusan ketika terjadi perselisihan, menjadi orang tua ketika terjadi kesempitan, dan menjadi dokter ketika ada sahabat yang sakit.

Hal ini adalah sesuai hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari RA, bahwa bibi dari As Sa’ib bin Yazid RA membawanya kepada baginda Nabi SAW ketika sakit, dan dia berkata:

فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَ أُخْتِى وَجِعٌ فَمَسَحَ رَأْسِى وَدَعَا لِى بِالْبَرَكَةِ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَشَرِبْتُ مِنْ وَضُوئِهِ

“Wahai Rasulallah, sesungguhnya anak dari saudariku sakit, kemudian baginda Nabi mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan untukku, lalu baginda Nabi berwudhu kemudian saya meminum air bekas wudhunya,” (HR. Bukhari).

Pada hadist ini menunjukkan, bahwa sahabiyyah tersebut membawa keponakannya ketika sakit kepada baginda Nabi SAW, untuk meminta kesembuhan sebagaimana diantara kita pergi ke seorang dokter ketika sakit. Lalu bagindapun mengusapkan tangan mulianya kepada As Sa’ib lalu mendoakan dan memberikan obat yang berupa air bekas wudhunya tersebut. Berobat adalah merupakan ainul ‘ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah), yaitu mengambil sabab (usaha).

Karena sesungguhnya kita di dunia ini adalah berada di alam hikmah, yaitu alam sabab musabbab dimana Allah menjadikan sesuatu melalui perantara sesuatu yang lain. Seperti halnya orang sakit, maka Allah memberikan kesembuhan dengan berobat, orang ketika lapar, maka Allah menghilangkannya dengan makanan.

Dimana Allah menjadikan semua ini sebagai bentuk kehambaan kita kepadanya, yaitu mengambil sabab secara dzahir dan berpasrah diri secara batin, tanpa mengandalkan serta meyakini sabab tersebutlah yang memberikan kesembuhan ataupun rasa kenyang, akan tetapi secara hakekatnya adalah Allah Ta’ala.

Syekh Yusri menambahkan, bahwa bagian kepala As Sa’ib yang tersentuh tangan mulia baginda Nabi SAW adalah tidak beruban. Tidak hanya itu, akan tetapi para sahabat yang lain juga mengambil keberkahan dari bekas sentuhan baginda Nabi SAW bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.

Segala sesuatu yang tersentuh oleh jasad baginda Nabi SAW adalah menjadi berkah dan juga memberikan keberkahan kepada orang lain. Dimana keberkahan ini adalah merupakan sabab yang Allah ciptakan di alam hikmah ini, sebagai wasilah untuk mendapatkan kesembuhan sebagaimana dalam hadits ini.

Waallahu a’lam.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain