Syekh Yusri menguatkan, bahwa ayat ini bukannlah sebagai dalil bahwa Nabi Ibrahim AS pernah melalui مرحلة الحيرة (fase kebingungan dalam mencari Tuhan) sebagaimana pendapatnya orang yang tidak paham terhadap makna عصمة(penjagaan Allah kepada para Nabi dan utusannya dari dosa), sehingga menisbatkan dosa yang paling besar kepada para utusan Allah.

Adapun akidah ahli sunnah wal jama’ah adalah mengatakan bahwa para utusan Allah ma’sum sebelum mereka diutus. Tidak ada satupun diantara mereka yang pernah melakukan dosa, apalagi sampai menyembah berhala. Sebagaimana Allah berfirman:

“إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ”

Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim ini adalah ummat yang bertaqwa kepada Allah, yang lurus, dan bukanlah dari golongannya orang yang musyrik “(QS. An Nahl:120).

Oleh karena itu, pada akhir kisah ini Allah mengatakan dalam firmannya:

“وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ”

Artinya “Dan itulah hujjah Kami, yang telah Kami berikan kepada Ibrahim atas kaumnya “(QS. Al An’am : 83).

Kalau seandainya ini adalah fase keraguan Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan, sehingga bertanya kepada diri sendiri tentang kepantasan bintang, bulan atapun matahari sebagai Tuhan, maka Allah akan menyebutkan “على إبراهيم” yaitu atas Ibrahim misalkan.