terdakwa — Riva Siahaan (mantan Direktur Pertamina Patra Niaga). Aktual/HO

Jakarta, aktual.com – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan dan penjualan BBM Non Subsidi di PT Pertamina Patra Niaga kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (16/10). Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan eksepsi atau bantahan terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) oleh tim penasihat hukum para terdakwa.

Penasihat hukum Arie Nobelta Kaban yang mewakili tiga terdakwa — Riva Siahaan (mantan Direktur Pertamina Patra Niaga), Maya Kusmaya (mantan Direktur Pemasaran Pertamina Patra Niaga), dan Edward Corne (mantan VP Trading and Operation PT Pertamina Patra Niaga) — menilai dakwaan JPU berbeda jauh dari pemberitaan yang telah beredar di media massa.

“Dalam surat dakwaan yang kami terima, tidak ada perkara BBM oplosan atau blending RON 88 dan RON 90 menjadi RON 92. Tidak pula disebutkan adanya kerugian negara mencapai Rp969,5 triliun atau hampir satu kuadriliun sebagaimana ramai diberitakan,” ujar Arie di hadapan majelis hakim.

Menurut Arie, dalam surat dakwaan, para terdakwa justru didakwa terkait pengadaan produk BBM dan penetapan harga jual kepada pelanggan non-subsidi, yang substansinya sangat berbeda dengan isu yang telah viral di publik. Ia juga menegaskan, nilai kerugian negara yang didakwakan hanya sebesar Rp357,36 miliar dan USD 5,74 juta, bukan ratusan triliun seperti disebut di sejumlah pemberitaan.

“Klien kami sudah lebih dulu dihukum secara sosial akibat pemberitaan yang keliru. Padahal asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah seharusnya dijunjung tinggi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Arie menilai dakwaan JPU tidak disusun secara cermat dan tidak jelas menjelaskan unsur tindak pidana. Ia mencontohkan, perbuatan Riva Siahaan dan Maya Kusmaya yang disebut menyetujui kontrak dan harga jual BBM non-subsidi, padahal kewenangan tersebut berada pada posisi Vice President (VP), bukan direktur.

Selain itu, tim kuasa hukum juga mempertanyakan dasar perhitungan kerugian negara yang dinilai mencampuradukkan perkara lain dan tidak dijelaskan asal-usul maupun metode penghitungan nilainya.

“Dalam dakwaan disebutkan pula adanya kerugian perekonomian negara hingga Rp171,99 triliun dan illegal gain sebesar USD 2,61 miliar, namun tidak dijelaskan apa kaitannya dengan perbuatan para terdakwa,” tambah Arie.

Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum menilai surat dakwaan setebal 176 halaman tersebut tidak menguraikan adanya niat jahat (mens rea) dari para terdakwa. Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi penasihat hukum.