Ketua Komisi VII DPR RI Satya Yudha, saat diskusi polemik dengan tema "Republik Freeport" di Jakarta, Sabtu (25/2). Sikap PT Freeport Indonesia yang terus-terusan ngotot melawan pemerintah RI adalah wajar. Sebabnya, Freeport sempat nyaman dimanjakan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dijamin oleh surat Sudirman Said ketika masih menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. AKTUAL/Tino Oktaviano
Ketua Komisi VII DPR RI Satya Yudha, saat diskusi polemik dengan tema "Republik Freeport" di Jakarta, Sabtu (25/2). Sikap PT Freeport Indonesia yang terus-terusan ngotot melawan pemerintah RI adalah wajar. Sebabnya, Freeport sempat nyaman dimanjakan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dijamin oleh surat Sudirman Said ketika masih menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya Widya Yudha menjelaskan pembahasan revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak memungkinkan berjalan dengan cepat.

Alasannya, keputusan terkait teknis dalam Undang-Undang tidak begitu saja bisa dirumuskan karena dikhawatirkan akan bersebrangan dengan regulasi atau institusi lain. Apalagi sedang ada wacana holding migas yang harus dikoordinasikan dengan Komisi VI baik terkait holding ataupun tentang revisi UU BUMN.

“UU migas domain komisi VII, sementara korporat memang di komisis VI kita tidak ingin ada yang berseberangan antara yang ada di Kementerian BUMN dan ada di komisi VII,” kata Satya di Kantor The Habibie Center, Jakarta, Senin (20/3).

Sementara pada saat yang sama The Habibie Center meminta semua pihak berpartisipasi mengawal revisi UU tersebut agar terjadi percepatan. UU ini dinilai urgen namun hanya dibicarakan di tataran elit dan luput dari perhatian publik, sehingga tidak ada progress yang berarti.

Peneliti Habibie Center, Zamroni Salim mengatakan proses revisi UU Migas telah berlangsung sejak putusan anulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 21 Desember 2004.

“Revisi ini tanpa perhatian publik, hingga tidak menjadi prioritas di DPR. Proses panjang dan berliku menunjukkan terdapat tarik ulur kepentingan dari berbagai pihak. Maka dari itu, ini perlu diawasi oleh publik,” kata Zamroni.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan