Jakarta, Aktual.com — Pidato kenegaraan Presiden Jokowi dinilai paradoks dan lebih banyak karya kata dibanding karya nyata.
Presiden Jokowi menyampaikan tiga pidato pada Sidang Tahunan MPR (ST MPR). Pertama, pidato tentang laporan kinerja lembaga-lembaga negara. Kedua, pidato menyambut peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia. Terakhir, pidato tanggapan penyampaian nota keuangan dan RAPBN 2016.
“Tidak ada yang spesial dari pidato presiden. Justru banyak yang paradoks. Lebih banyak karya kata dibanding karya nyata. Presiden, misalnya, bicara soal kekompakan lembaga-lembaga negara untuk mewujudkan Trisakti. Tapi sayangnya, di saat yang sama justru masih ada saja pola komunikasi dan koordinasi yang kurang efektif,” ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR RI F-Gerindra, Heri Gunawan, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/8).
Jokowi bicara soal kemandirian ekonomi, tapi faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi nasional kepada asing melalui Utang Luar Negeri yang bertumpuk. Saat ini, debt service ratio sudah diatas 50 persen. Hal itu berbahaya dan mengancam kedaulatan fiskal. Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk bayar Utang Luar Negeri.
Selain itu, bicara soal ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tapi faktanya, dukungan terhadap perkembangan ekonomi ini masih kurang maksimal. Sebagai contoh, pemerintah belum memberi saluran pembiayaan yang lebar bagi tumbuhnya start up.
Saat ini, banyak anak muda dengan start-up yang luar biasa tapi masih sulit dalam pembiayaan. BUMN yang diharapkan menopang hal itu tidak maksimal. Tidak heran, banyak start-up Indonesia yang punya ide cemerlang tapi sulit bersaing.
“Presiden bicara soal janji-janji kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tapi, faktanya, di saat yang sama, pemerintah (Pertamina dan PLN) justru akan menaikkan harga BBM dan TDL menjelang hari kemerdekaan. Lebih dari itu, rencana sewa-ulang pembangkit-pembangkit PLN oleh Tiongkok, justru makin menjerumuskan listrik nasional untuk tidak pernah merdeka 100%,” katanya.
Ditambahkan, berkali-kali presiden bicara soal revolusi mental, tapi faktanya progres belum kelihatan. Masih ada saja lingkaran birokrat yang terlibat dalam inefisiensi. Dicontohkan, kasus ‘dwell time’ yang diduga melibatkan 18 kementerian dan lembaga. Berikutnya, impor gula, dan lain-lain, yang juga melibatkan oknum-oknim di pemerintahan sendiri.
“Karena itu, kedepan saya berharap presiden bisa mewujudkan janji-janjinya secara konsisten dan konsekuen. Satunya kata dengan perbuatan. Berkarya nyata dan tidak berkarya kata.”
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang