Jakarta, Aktual.com – Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan agar semangat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri tidak boleh mengendur dalam memburu koruptor, kendati Mahkamah Konstitusi (MK) telah mewajibkan para penyidik kasus Tipikor menyajikan data tentang kerugian negara yang nyata dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi, KPK dan Polri layak menjalin koordinasi dan kerjasama yang solid dengan BPK maupun inspektorat jenderal pada semua kementerian dan lembaga maupun dengan inspektorat daerah.
Menyusul perubahan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor baru-baru ini, Bambang menilai, penguatan koordinasi dan kerjasama KPK-Polri dengan BPK dan semua inspektorat jenderal menjadi penting demi akurasi dan kecepatan perhitungan kerugian negara pada kasus-kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang ditangani.
“Perubahan dua pasal dalam UU Tipikor itu mengharuskan penyidik kasus Tipikor menyajikan data kerugian negara yang nyata dan berkepastian, serta dihitung oleh institusi yang kompeten dan kapabel,” ujar Pria yang akrab disapa Bamsoet ini di Jakarta, Minggu (29/1).
Seperti diketahui, pada Rabu (25/1), MK memutuskan menghapus kata “dapat (merugikan keuangan negara)” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31/1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Konsekuensinya, lanjut Bamsoet, delik korupsi yang sebelumnya dipahami sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat. Maka, dalam kasus Tipikor, faktor kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti.
Dengan demikian, kata dia, penyidik KPK dan Polri serta Jaksa Penuntut harus bisa menyajikan angka kerugian negara sebelum menetapkan status sebuah kasus Tipikor hingga ke persidangan.
“Jika penyidik tidak melengkapi sebuah kasus Tipikor dengan data tentang kerugian negara yang nyata dan pasti, kasusnya akan dengan mudah digugurkan, termasuk di tahapan sidang praperadilan yang diajukan terduga korupsi,” kata Politisi Partai Golkar itu.
Bamsoet menyebutkan, ketentuan atau tata cara menghitung kerugian negara atau daerah telah diatur dalam pasal 1 UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun dalam pasal 32 ayat (1) UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
“Penjelasan tentang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang,” tuturnya.
Selain itu, dalam pertimbangan Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 per 23 Oktober 2012, juga ditegaskan bahwa untuk menunjukkan kebenaran materiil dalam menghitung kerugian keuangan negara akibat Tipikor, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain seperti inspektorat jenderal atau memanfaatkan tenaga ahli.
“Karena penguatan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipiklor itu dititikberatkan pada faktor kerugian negara yang nyata dan pasti, koordinasi KPK-Polri dengan BPK dan inspektorat jenderal pada semua kementerian dan lembaga maupun dengan inspektorat daerah menjadi faktor yang tak terelakan,” pungkas Bamsoet.
Laporan: Nailin
Artikel ini ditulis oleh: