Jakarta, Aktual.co — Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), R Widyo Pramono , menampik adanya perpecahan diantara petinggi Kejaksaan Agung soal penerbitan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) kasus Bank Bukopin.
“Jaksa itu satu, tidak ada beda. Semua satu,” ujar Widyo, di Kejagung, Jakarta, Jumat (19/12).
Sebelumnya, ia menyatakan bahwa  penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus tersebut sebelum dirinya menjabat. Saat itu, Safrudin atau Chairul Imam selaku Direktur Penyidikan Tipidsus Kejagung, dianggap bertanggung jawab dan meneken SP3 perkara tersebut.
“Yang meneken Direktur Penyidikan lah. Apa iya JAM Pidsus?” kata dia.
Meski demikian, ia kini meminta perkara tersebut tidak lagi dibesar-besarkan.
“Jaksa sudah menghentikan penyidikan dan itu murni dan sudah berdasarkan hukum tidak ada alasan yang lain,” kata dia.
Sebaliknya, Widyo meminta kepada pihak-pihak yang tak puas  untuk menggugat penerbitan SP3 kasus yang diduga merugikan keuangan negara Rp76 miliar tersebut ke pengadilan.
“Silahkan pihak-pihak yang tidak puas dengan itu untuk melakukan langkah hukum juga,”kata dia.
Kasus ini bermula ketika Direksi PT Bank Bukopin memberikan fasilitas kredit kepada PT Agung Pratama Lestari sebesar Rp 69,8 miliar pada 2004 yang dikucurkan dalam tiga tahap. Kredit itu dikucurkan untuk membiayai pembangunan alat pengering gabah ‘drying center’ pada Bulog Divre Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, sebanyak 45 unit.
Namun, fasilitas kredit tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti pada pengadaan spesifikasi merek dan jenis mesin. Akibat pemberian kredit itu, penyidik menyatakan, terjadi kredit macet di Bank Bukopin ditambah bunga sebesar Rp 76,24 miliar.
Dari kasus ini, penyidik sudah menetapkan 11 tersangka yang mayoritas di antaranya merupakan karyawan Bank Bukopin dan juga seorang pihak dari PT Agung Pratama Lestari.
Kabar penghentian perkara Bank Bukopin ini sudah terdengar sejak 2012. Saat itu, pihak Kejagung menyampaikan kesulitan dalam mendapatkan audit penghitungan kerugian uang negara dalam kasus tersebut dari BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalihnya audit sulit dilakukan karena saham pemerintah di Bank Bukopin di bawah 50 persen. Padahal, ada yurisprudensi perkara PT Elnusa yang terbukti di pengadilan meski saham pemerintah di perusahaan itu bawah 50 persen

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby