Jakarta, Aktual.com — Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Bengkulu, Juanda menilai KPK dapat mengusut dugaan pelanggaran dalam pemberian izin reklamasi teluk Jakarta. Pasalnya, telah terjadi tindak pidana dalam suap pembahasan Raperda reklamasi tersebut.

Dia menjelaskan, jika dalam pemberian izin reklamasi yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak sesuai dengan prosedur maka patut diduga ada unsur tindak pidana korupsi. KPK dalam hal ini harus berani masuk ke ranah tersebut.

“Sepanjang siapapun yang menyalahi persoalan hukum ini setidaknya ada dua aspek, unprosedural dan substansi. Kalau misalnya persoalan izinnya tidak sesuai dengan aturan dan itu menimbulkan tindak pidana korupsi orang itu bisa diseret,” terang Juanda kepada Aktual.com, Senin (2/5).

Menurut dia, pintu masuk untuk menelisik adanya dugaan tindak pidana korupsi adalah mengembangkan kasus suap pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035, dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Dalam kasus ini lembaga antirasuah itu telah menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Presdir PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja serta Trinanda Prihantoro selaku personal assistant PT APL.

“Oh iya kenapa tidak Kasus suap Raperda (menjadi pintu masuk). Ini yang saya katakan harus diusut tuntas secara hukum,” tandasnya.

Diketahui bahwa, tak sampai dua bulan pasca Ahok ditetapkan sebagai Gubernur DKI pada 23/12/2014 silam, Ahok untuk pertama kalinya menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi. Kemudian pada tahun 2015, bekas politikus tiga partai itu kembali menerbitkan izin reklamasi untuk beberapa pengembang.

Namun, landasan hukum yang dipakai Gubernur DKI Jakarta Ahok dalam mengeluarkan izin reklamasi itu bertentangan dengan Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang kawasan Jabodetabek Punjur. Dalam peraturan Perpres nomor 54 itu detegaskan bahwa Kepres nomor 52 tahun 1995 sudah dicabut.

Jika Ahok menggunakan Kepres 52 tahun 1995, harus dilihat Kepres tersebut sudah diganti dengan Perpres nomor 54 Tahun 2008 tentang penataan ruang kawasan Jabodetabek Punjur. Pada pasal 72, dijelaskan bahwa Kepres nomor 52 tahun 1995 dinyatakan tidak berlaku.

Selain itu proyek reklamasi Teluk Jakarta juga disinyalir melanggar peraturan presiden No. 122 Tahun 2012 bahwa pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak berwenang mengeluarkan izin reklamasi.

Penegasan perizinan reklamasi merupakan kemenangan Pemerintah pusat berdasarkan PP No 26 Tentang Tata Ruang Nasional.

Selain itu diperkuat dengan, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 26 tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, merupakan kewenangan Pemerintah pusat dalam hal ini KKP dan KLH.

Sebab, dalam proyek reklamasi, yang berhak mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (2), (3), dan (4) Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dengan adanya aturan hukum tersebut, sudah seharuanya Gubernur DKI Jakarta tidak memiliki kewenangan dalam mengeluarkan izin reklamasi di Teluk Jakarta. Meski begitu, faktanya Gubernur DKI telah mengeluarkan empat izin untuk empat Pulau yaitu Pulau G, F, I, dan K.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka