Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Agung dikabarkan telah melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap Komisaris PT Freeport Marzuki Darusman, Selasa (29/12). Namun, ada yang berbeda dengan sikap yang ditunjukan Kejagung terhadap kader Partai Golkar itu.
Pasalnya, Kejagung yang dikomandoi oleh Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memeriksa Marzuki di kantor PT Freeport Indonesia yang terletak di wilayah Plaza 89, Lt. 5 Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-7 No. 6, Jakarta Selatan.
Ketika dikonfirmasi kepada Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Amir Yanto mengaku belum mendapatkan perihal pemeriksaan, yang dilakukan Korps Adhiyaksa itu terhadap Marzuki Darusman di kantor Freeport.
“Saya belum dapat laporan dari gedung bundar,” ujar Amir ketika dihubungi, Selasa (29/12).
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Marzuki begitu berbeda dengan Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin dan Menteri ESDM Sudirman Said. Keduanya digarap oleh Kejagung di kantor Korps Adhiyaksa itu.
Pemeriksaan Marzuki di kantornya justru menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini keistimewaan yang diberikan pihak Kejagung kepada Freeport? Tidak ada yang bisa menilai.
Kendati demikian, dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pemeriksaan seorang terperiksa tentunya harus dilakukan di lembaga yang berwenang. Pemeriksaan di tempat yang dikehendaki terperiksa bisa dilakukan kalau dengan kondisi mendesak, seperti kesehatan.
Begitu yang dikatakan pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji. “(Pemeriksaan) wewenang penuh dari penyidik dengan limitasi yang ditentukan regulasi. Misalnya memungkinkan kehadiran saksi di tempatnya karena alasan kesehatan,” ujar Indriyanto, melalui pesan elektronik.
Rekaman Ilegal Tak Bisa jadi Bukti
Atas penyelidikan yang dilakukan oleh Kejagung, pihak dari mantan Ketua DPR Setya Novanto, sudah melayangkan surat permohonan perlindungan hukum kepada Jampidsus Kejaksaan Agung tertanggal 21 Desember 2015 dengan no 002/SP/ZLF/XII/2015 yang ditunjukan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung.
Hal itu dilakukan, karena berdasarkan pakar hukum pidana Andi Hamzah bukti rekaman yang diperolah tanpa izin dilakukan Presiden Direktur PT Freeport tidak bisa dijadikan dasar bukti yang kuat.
“Dalam rancangan KUHAP atas usul ahli hukum acara pidana sedunia Prof Thaman, hal ini ditegaskan dalam KUHAP semua alat bukti (bukan rekaman saja) yang diperoleh secar tidak sah tidak dapat dipakai sebagai alat bukti,” ujar dia dalam surat permohonan pihak Novanto.
Tak hanya rekaman saja, sambung Hamzah, juga termasuk keterangan saksi yang disuap atau keterangan tersangka dan terdakwa yang mengaku disiksa. Memang dalam KUHP Indonesia merekam pembicaraan orang lain tanpa izin tidak merupakan delik (tindak pidana, baru dalam rancangan KUHP, yang disalin dari KUHP Belanda sekarang.
“Perekaman pembicaraan orang lain tanpa izin, sama penyadapan telepon tanpa izin dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin. Semua ini menyangkut privacy orang.”
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu