KPK curiga dengan "perjanjian preman" ahok

Jakarta, Aktual.com – Hingga saat ini tidak ada gelagat apa pun dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjerat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Padahal, banyak kalangan menilai Ahok terlibat dua kasus, yakni reklamasi pantai utara Jakarta dan pengadaan lahan RS Sumber Waras.

Pakar hukum pidana Choirul Huda menduga keterlibatan Ahok dalam kasus reklamasi. Sayangnya, dugaan itu membuatnya kecewa lantaran KPK dianggap tidak sedikit pun mencurigai Ahok sebagai pelaku.

“Kedapatan ada suap-menyuap dalam reklamasi saja tidak kelihatan kalau itu juga melibatkan yang bersangkutan (Ahok),” tutur Choirul, saat diminta menanggapi penanganan kasus Pemprov DKI, Sabtu (18/6).

Dalam kasus reklamasi, Choirul meyakini bukan hanya dia yang menyebut ada pelanggaran hukum, baik itu hukum administrasi, tata negara hingga tindak pidana korupsi. Tapi lagi-lagi, KPK hanya ‘melirik’.

Dia pun menyebut ada upaya masif yang dilakukan pihak tertentu untuk menyembunyikan kesalahan Ahok. Bahkan, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta upaya itu datang dari penguasa.

“Semua pejabat bilang reklamasi melanggar peraturan, cuma pak Ahok yang menyatakan tidak. Jadi ini sudah disetting, agenda besar. Agenda, maaf, para naga. Wallahualam,” pungkasnya.

Terkhusus kasus reklamasi, ada satu fakta yang menurut Choirul telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Fakta tersebut adalah ‘perjanjian’ preman yang dibuat Ahok bersama empat pengembang reklamasi pantura Jakarta.

“Bisa masuk dalam korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf e UU 20 Tahun 2001, karena belum ada dasar yang cukup, berarti kan menyalahgunakan kekuasaan. Memaksa orang untuk bayar,” papar dia, saat dihubungi, 17 Mei 2015.

Perjanjian Preman ini memuat kontribusi tambahan pengembang reklamasi berupa uang. Seharusnya, merujuk pada FGD Pemprov yang didapat Aktual.com, pembayaran kontribusi tambahan itu dilakukan setelah izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan.

Namun yang terjadi, pembayaran kontribusi tambahan itu justru dijadikan alat oleh Ahok. Prosesnya, pengembang bayarkan kontribusi tambahan, setelah itu barulah Ahok menerbitkan izin pelaksanaan untuk pengembang yang membayar.

“Nggak mungkin dia (pengembang) sukarela untuk bayar itu. Mereka kan mau bayar karena butuh izin reklamasi, jadi pada dasarnya itu pemerasan dalam jabatan atau pungutan liar,” terangnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby