Jakarta, Aktual.com — Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Mohammad Reza Hafiz menilai rencana pemerintah menambah utang luar negeri sebesar Rp605,3 triliun tahun ini sebegai bentuk pesimisme pemerintah.

“Itu konsekuensi logis dari ketidakmampuan serta pesimisme pemerintah dalam menggenjot penerimaan pajak, sehingga untuk menambal defisit anggaran agar tidak lewat dari ketentuan undang-undang 3 persen dari PDB,” tulis Reza dalam pesan singkatnya kepada Aktual.com, Minggu (3/1).

Menurutnya pengelolaan utang pemerintah selama ini cenderung hanya untuk ‘gali lobang tutup lobang’. dampaknya hutang tidak dapat memberikan efek pembangunan yang signifikan.

“Utang digunakan untuk refinancing dan membayar cicilan pokok utang sebelumnya serta alasan klasik untuk menambal agar defisit tidak lepas dari amanat konstitusi,” ujarnya.

Jika dilihat dari posisi pinjaman berdasarkan sektor ekonomi, mayoritas dana pinjaman tersebut digunakan ke sektor non-tradable seperti keuangan, persewaan dan jasa keuangan, serta jasa lainnya.

Sedangkan sektor tradable seperti pertanian dan industri manufaktur sangat kecil porsinya. Padahal sektor tradable punya andil nyata bagi penyerapan tenaga kerja dan multiplier effect lainnya.

Selanjutnya surat berharga negara (SBN) yang jadi andalan pemerintah untuk meraup utang, hingga November 2015 hampir 40 persen SBN dikuasai asing, hal ini cerminan bahwa negara terus menerus memperkaya asing dan semakin menyandera ekonomi domestik.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta