Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Purwasto Saroprayogi mengemukakan, salah satu sektor yang paling banyak menggunakan merkuri adalah pertambangan emas skala kecil yakni untuk proses amalgamasi (teknik mencampurkan merkuri dengan bijih emas).

“Pertambangan emas skala kecil menimbulkan kerugian ekonomi karena tidak membayar pajak, recovery tidak optimal, ketergantungan dan cenderung hanya menguntungkan pemodal, pemborosan sumber daya alam,” ujarnya.

Peneliti jaringan LSM kesehatan dan lingkungan global (IPEN) Joe DiGangi yang telah ikut menulis penelitian terkait dengan pencemaran merkuri di sekitar 15 negara itu juga memperkirakan potensi kerugian tahunan secara global akibat pencemaran merkuri bisa mencapai lebih dari 77 juta dolar AS.

Sejumlah aktivitas sektor pertambangan lainnya yang menghasilkan pencemaran merkuri antara lain hasil emisi sampingan dari pembakaran batu bara dalam produksi energi listrik.

Selain itu, contoh dari produk yang mengandung merkuri adalah lampu neon, termometer, baterai, dan saklar, serta produk sejenis lainnya.

Di tingkat internasional, juga telah ada Konvensi Minamata mengenai Merkuri yang telah disusun pada tahun 2013 tetapi belum diberlakukan. Saat ini, dilaporkan banyak negara sedang melakukan kajian kepada sumber pencemaran dan tingkat pencemaran eksisting merkuri guna mempersiapkan proses ratifikasi.

Setelah diberlakukan, Konvensi Minamata mengenai Merkuri itu akan mewajibkan setiap negara yang memberlakukan untuk mengurangi perdagangan dan persediaan merkuri, menghilangkan atau mengurangi produk yang prosesnya memakai merkuri, serta mengontrol emisi dan lapisan merkuri.

Balifokus juga mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Minamata dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional untuk mencegah potensi penghasilan yang hilang di Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka