Jakarta, Aktual.com — Pendidikan karakter yang belakangan banyak didengungkan di dunia pendidikan sejatinya dimulai dari hal-hal sederhana, namun memiliki dampak panjang bagi pembentukan kebiasaan baik pada seseorang.
Hal itulah yang disadari dan diterapkan oleh Desyanawanti Limantoro, Kepala SD Kristen Petra 9 Kota Surabaya, bersama para guru di sekolah itu.
Desy, panggilan akrab perempuan penyandang gelar magister psikologi itu, mengemukakan bahwa pihaknya memang menerapkan pola penanaman karakter kepada anak didiknya yang dikemas dalam tema-tema tertentu yang kemudian ditanamkan lewat kebiasaan sehari-hari.
Salah satu pola penanaman itu adalah penerapan lima “kata sakti” yang di dalamnya mengandung aspek pendidikan karakter. Elemen dalam “kata sakti” itu adalah, sopan, santun, salam, senyum dan sapa.
Sebagai pola pembinaan yang lebih bersifat formal, anak-anak di sekolah itu secara bergantian diwajibkan mengenakan selempang bertuliskan lima “kata sakti” itu yang kemudian ditugasi untuk menyambut setiap tamu yang datang ke sekolah.
Kepada para tamu itu mereka harus mengamalkan kelima kata sakti tersebut. Sementara dalam praktik nyata sehari-hari, para guru menekankan para anak didiknya untuk selalu mengucapkan kata “terima kasih”, “minta tolong”, “permisi” dan “minta maaf” kepada orang lain.
Semua kata itu, kata Desy, mewajibkan pelakunya, dalam hal ini para siswa, untuk memiliki sikap rendah hati dan tidak egois.
“Ketika ada orang yang melakukan sesuatu yang dinilai sesuai dengan apa yang diinginkan oleh siswa, maka siswa wajib mengucapkan kata terima kasih. Ketika mereka memerlukan bantuan orang lain, siapapun itu, mereka wajib mengatakan minta tolong,” katanya.
Menurut dia, hal itu terlihat sebagai hal kecil, tapi wajib dilakukan oleh siswa. Dampaknya diyakini akan luar biasa bagi anak didik yang membiasakan mengucapkan hal-hal seperti itu.
Dengan cara-cara seperti itu, kata dia, maka anak akan terbiasa memiliki empati atau sikap peduli antara manusia satu terhadap manusia lainnya dalam kehidupan sosial.
Salah satu bentuk empati yang diterapkan di sekolah yang berdiri sejak tahun 1983 ini juga membiasakan anak didiknya untuk menjadi tutor sebaya bagi siswa lainnya. Ini untuk menanamkan peduli pada siswa terhadap temannya.
Mereka dilatih untuk tidak hanya berpikir bagaimana dirinya yang maju dalam bidang pelajaran tertentu, tetapi maju bersama-sama, meskipun nantinya juga tetap kembali kepada upaya dan kemampuan masing-masing.
“Jadi anak-anak itu mempunyai kelompok dan setiap satu kelompok ada anak yang pandai dan selalu siap mengajari siswa lainnya. Ketika ada siswa yang tidak bisa dalam pelajaran itu, maka siswa lainnya mengajari atau menerangkan,” kata perempuan kelahiran Kota Pahlawan Surabaya ini.
Contoh konkret lainnya yang ditanamkan sekolah yang berada di bawah naungan Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen (PPPK) Petra itu adalah kebiasaan melakukan doa bersama untuk kepentingan sesama.
Mengapa doa? “Karena doa adalah kekuatan. Semua upaya yang dilakukan oleh siswa maupun guru harus diimbangi dengan doa sebagai sumber kekuatan di luar usaha secara fisik,” kata kepala sekolah lulusan strata satu (S-1) Jurusan Bimbingan Konseling dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Adi Buana yang kini menjadi Universitas PGRI Adi Buana Surabaya itu.
Sekolah itu menerapkan praktik doa bersama atau doa gabungan. Pada program ini sekolah menyediakan kertas doa. Kertas ukuran kecil itu dibentuk dalam format berjudul “Kartu Permohonan Doa”. Di kertas itu berisi data nama, kelas dan uraian permohonan doanya yang harus diisi oleh siswa yang ingin masalahnya diselesaikan.
Kertas-kertas yang sudah diisi oleh siswa itu kemudian dibuka dan dibacakan bersama-sama secara khusyuk, baik di dalam kelas setiap hari maupun di setiap hari Jumat yang dibacakan sebagai doa bersama oleh seluruh siswa dan guru di satu sekolah.
“Kami tanamkan betul kepedulian siswa terhadap teman-temannya, dalam bentuk doa seperti ini, karena dunia sekarang dipenuhi dengan orang yang hanya mengandalkan egoisme saja. Egoisme diri yang sangat tinggi. Kami menekankan agar sekolah ini tidak hanya mencetak anak yang pandai, tapi juga menjadi anak bangsa yang memiliki karakter baik,” katanya.
Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengemukakan bahwa pendidikan karakter dimulai oleh keteladanan.
Bhernadetta Rini Sulistyawati, salah seorang guru di SD Kristen Petra 9 Surabaya, memperlihatkan keteladanan itu kepada anak didiknya. Salah satunya pada suatu siang saat ia berpapasan dengan siswanya.
“Ibu mohon maaf ya nak, ibu tidak bisa menemani belajar kamu hari ini karena ibu sedang ada tamu,” kata Bhernadetta Rini Sulistyawati, guru kelas VI kepada Feilin Liangga P, siswa kelas IV, saat keduanya berpapasan di lorong sekolah.
Feilin terdiam dan mengangguk pertanda memahami penjelasan guru. Sejurus kemudian siswa berambut panjang itu menanyakan kapan ibu guru Rini, panggilan akrab Bhernadetta Rini Sulistyawati, bisa menemaninya belajar Matematika. Rini menjawab sambil memandang lembut wajah muridnya itu bahwa “utang” janji akan “dilunasi”-nya esok hari. Feilin kembali mengangguk.
Dari adegan itu menunjukkan bahwa proses pendidikan bagi anak-anak tidak hanya terbatas di dalam ruang kelas. Proses pendidikan terjadi setiap saat dan kesempatan, termasuk dalam interaksi informal antara guru dengan murid, guru dengan guru dan guru dengan orang tua.
Untuk permintaan maaf itu, kata Rini, sekolahnya memang mengajarkan anak untuk bersikap baik kepada siapapun. Dengan demikian, anak tidak saja cerdas secara ilmu, tetapi juga dalam bersikap kepada orang lain.
Untuk menanamkan sikap itu, pihaknya meyakini bahwa hal itu tidak cukup hanya disampaikan lewat kata-kata. Para guru juga harus memberi contoh langsung dalam kebiasaan sehari-hari kepada murid-muridnya.
Contoh itu, kata Rini, bisa ditampilkan kapan saja dan diharapkan sudah menginternal di dalamnya sehingga secara spontan muncul dalam setiap momen serta kesempatan.
Tidak saja soal karakter, sekolah yang ia pimpin telah menelorkan sejumlah siswa beprestasi, khususnya di bidang Matematika. Sekolah tersebut memang memilih program keunggulan bidang Matematika sejak tahun ajaran 2013/2014.
Di antara siswa yang meraih juara di Olimpiade Matematika Internasional adalah Alan Darma Saputra pada 2007. Kensias Kristanto juara 1 tingkat 6 di ajang “World Sakamoto Mathematics Championship” Regional Jawa Timur. Di ajang yang sama Vanya Priscillia Bendatu juga meraih juara 1 tingkat 4 dan Rivaldo Billy Sebastian meraih juara 2 tingkat 6.
Di Olimpiade Matematika ITS (OMITS) 2014 tingkat nasional yang diselenggarakan oleh ITS Surabaya, Rivaldo Billy Sebastian dan Kensias Kristanto, masing-masing meraih juara 2 piala bergilir Mendikbud.
Sementara Aaron Alvarado Kristanto Julistiono yang kini duduk di kelas 6 SD Kristen Petra 9 Surabaya telah banyak membukukan kejuaraan. Prestasi yang diraihnya adalah medali emas pada ajang “International Mathematics Assesment for School” (IMAS) 2013, medali emas “Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School” (ASMOPS) 2013.
Aaron juga meraih medali emas dan “The Best Theory Olimpiade Sains Nasional” (OSN) 2014, medali perak pada “International Mathematics Contest” (IMC) 2014 di Singapura dan medali emas pada “International Mathematics and Science Olympiad” (IMSO) 2014. IMSO 2014 yang merupaka ajang bergengsi itu diikuti 234 peserta dari 14 negara.
Para siswa berprestasi itu diasuh untuk pendalaman Matematik empat guru, yakni Bhernadetta Rini Sulistyawati, Dwike Puji Rahayu Yehana, Devinta Ria Kusuma, dan Elisabeth Emaningsih B.
Pada akhirnya Desy mengungkapkan bahwa jika kelak anak didiknya terpilih menjadi pemimpin, mereka sudah terbiasa peduli dan perhatian terhadap orang yang dipimpinnya.
Ia menegaskan bahwa untuk apa menjadi orang yang pandai, tapi hanya memikirkan diri sendiri, bahkan justru juga pandai menipu. Berkiprah di bidang apapun, anak-anak lulusan sekolah itu selalu ditekankan untuk memiliki perhatian yang besar terhadap lingkungan sekitarnya.
Artikel ini ditulis oleh: