Jakarta, Aktual.com — Berdasar UU No 30/2007 tentang Energi, pemerintah dituntut untuk terus mendorong percepatan dan pengembangan EBTKE. Namun nyatanya, hingga kini pencapaian energi yang berbasis EBTKE itu masih sangat rendah, baru terwujud 6,8 persen.
“UU itu mewajibkan pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan EBT. Serta menjamin adanya diversifikasi energi, serta bertanggung jawab melakukan konversi energi,” tegas Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said seusai MoU dengan Otoritas Jasa Keuangan, di Jakarta, Rabu (3/2).
Sesuai target pemerintah dalam PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, hingga 2025 Indonesia membutuhkan lompatan energi EBT 17 persen yakni untuk menuju ke angka minimum 23 persen. Posisi saat ini baru 6,8 persen EBT.
Menurut Sudirman, untuk mencapai 23 persen butuh investasi Rp1.300-1.600 triliun. Mengingat saat ini dana APBN untuk EBT hanya sebesar Rp2 triliun. Maka investasi dari industri jasa keuangan sangat dibutuhkan.
“MoU ini diharapkan dapat mendorong ketersediaan sumber pembiayaan bagi proyek EBTKE, baik dari sektor asuransi, dana pensiun, pasar modal, maupun perbankan,” kata Sudirman.
Menurut Ketua DK OJK, Muliaman Hadad, OJK terus mendorong seluruh industri jasa keuangan untuk terlibat melakukan pembiayaan di sektor energi. Untuk itu, OJK menjalin kerja sama dengan Kementerian
Langkah ini sepertinya rentan direspon positif industri keuangan. Pasalnya, saat ini harga komoditas energi sedang anjlok.
“OJK mendorong IJK untuk memperbesar pembiayaan di sektor energi yang potensinya sangat besar,” jelas dia.
Sekaligus, kata Muliaman, langkah ini juga untuk mendukung sektor prioritas pemerintah dalam rangka percepatan pengembangan energi baru, energi terbarukan, dan konversi energi (EBTKE).
Kerja sama ini ditandatangani oleh Muliaman mewakili OJK dan Menteri ESDM, Sudirman Said.
Tujuan MoU ini, selain percepatan program EBTKE tersebut, juga untuk mewujudkan infrastruktur ketenagalistrikan melalui peningkatan peran lembaga jasa keuangan.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka