Jakarta, Aktual.com – Pengamat Perpajakan Darussalam mengatakan pemerintah Indonesia bisa meniru cara Inggris yang agresif dalam upaya memungut pajak dari Google dengan menerapkan jenis pajak baru bagi perusahaan berbasis konten informasi (OTT).
“Inggris memberikan satu pendekatan dengan menciptakan satu jenis pajak baru untuk OTT (diverted profit tax), dimana pajak baru ini diluar cakupan PPh,” kata Darussalam di Malang, Jumat (14/10).
Darussalam mengatakan jenis pajak yang diusulkan tersebut berupa pengenaan pajak sebesar 25 persen kepada perusahaan OTT, apabila dengan sengaja tidak membentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT), meski beroperasi di Inggris.
“Intinya, Google akan dikenakan 25 persen kalau dia secara sengaja berupaya untuk tidak membentuk BUT. Kalau itu terbukti, maka 25 persen dikenakan atas profitnya yang bersumber dari Inggris,” kata pengamat dari Danny Darussalam Tax Center ini.
Ia menambahkan pajak ini berlaku aktif apabila Google ketahuan mengalihkan keuntungannya ke negara yang memberikan tarif pajak lebih rendah dari yang dikenakan di Inggris, sehingga saat ini banyak perusahaan OTT yang berlomba-lomba membentuk BUT.
“Banyak perusahaan OTT sejenis mengubah struktur bisnisnya di negara sumber agar menjadi BUT, karena takut dikenakan pajak ini. Mereka merestrukturisasi bisnis jadi tidak hanya semata sebagai fungsi ‘marketing support’,” ujarnya.
Menurut Darussalam, pajak ini bila diterapkan di Indonesia harus dibuat terlepas dari UU Pajak Penghasilan, karena bila dikenakan PPh, maka kedudukannya bersilangan dengan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty yang menyatakan aktivitas online tidak bisa dipungut pajak.
Secara keseluruhan, kata dia, keberhasilan Inggris yang memenangkan gugatan terkait pungutan pajak terhadap Google patut diapresiasi karena bisa memberikan aura positif atas penegakkan hukum dalam bidang perpajakan terhadap perusahaan OTT.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengakui kemungkinan adanya penerapan jenis pajak tersebut di Indonesia, namun hal itu masih membutuhkan proses sosialisasi dan komunikasi dengan pihak legislatif.
“Kalau namanya mengenakan suatu jenis pajak baru, harus bicara dengan DPR dan itu harus melalui proses-prosesnya seperti apa. Kita lihat saja ke depan apakah kita akan perkuat UU pajak yang ada sekarang atau mengeluarkan jenis pajak baru seperti itu,” ujarnya.
Hestu mengatakan momen revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan harus bisa dijadikan untuk mendorong reformasi dalam bidang perpajakan, termasuk adanya pengenaan pajak kepada perusahaan konten berbasis online dan bisnis e-commerce yang selama ini belum ditemukan solusinya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka