Jakarta, Aktual.com – Mencintai orang lain melebihi cintanya kepada dirinya sendiri itu adalah tabiat seorang manusia. Jika seorang manusia mencintai pasangannya secara berlebihan, maka pada hakikatnya itu adalah sifat manusia. Tabiat asli manusia ini harus diluruskan dengan tasawuf. Tasawuf mengajak manusia untuk melampaui dirinya dengan mencintai Allah dan Rasulnya.
Cinta adalah memberi bukan mengharap imbalan. Semua makhluk adalah pancaran Allah. Mencintai Allah berarti harus memberikan semuanya untuk makhluk-Nya dengan tanpa pamrih. Paparan di atas adalah bagian dari kajian tasawuf yang digelar di Pondok Pesantren Raudhoh Al-Hikam, Cibinong dalam acara Muzakarah Tauhid Tasawuf se-Asia Tenggara ke-4 dengan tema Menyongsong Generasi Baru dan Memberkahi Nusantara, Sabtu (27/8).
Syaikh Rahimuddin Nawawi al-Bantani yang hadir dalam acara tersebut menyebutkan, tasawuf sebagai bagian dari tiga inti ajaran islam selain syariah dan aqidah. Tasawuf sendiri merupakan sebuah metode untuk meningkatkan umat Islam untuk mencapai tingkat Ihsan. Untuk mencampai tingkatan ini, maka sama halnya ketika orang ingin memehami Islam, maka dia harus belajar ilmu Fiqih. Sedangkan untuk mencapai tingkatan Ihsan itu, maka para ulama sepakat memberikan nama metode-metode atau pendakatan-pendekatan untuk mencapai dengan nama tasawuf.
Padahal, lanjut Syaikh Rahimuddin, sebetulnya inti dari tasawuf itu sendiri isinya hanya metode-motede. Cara-cara yang sebelumnya telah diwarsikan dari Rasullah dan sahabat Nabi tentang bagaimana cara ibadah, bagaimana orang itu bisa mendalami rasa tauhid yang didalam jiwanya untuk membawa sesorang ke tingkat Ihsan. Tingkat Ihsan itu tentang beribadah menyaksikan Allah, dengan kata lain yakni dia mencapai bahwa seluruh jiwa dan raganya hanya tertuju kepada Allah SWT.
“Karena dia ibadah itu berkat Allah, taufiknya, hidayahnya berkat Allah, maka jadilah ibadah. Akhirnya dia menjadi hamba, makanya membuat tasawuf itu mau membuat apa? Sebenarnya untuk membuat hamba. Sebetulnya hamba itu tidak perlu diberi embel-embel taat, karena kalau hamba sudah pasti taat.”
Untuk melakukan pendekatan tasawuf itu sendiri, lanjut Syaikh Rahimuddin ada dua pendekatan, yakni pertama biasa disebut pendekatan dasar. Pendekatan dasar ini dengan menjelaskan melalui tempat pengajian, majelis tentang ilmu tasawuf dan begaimana mengenalkan ahlak dan mengajarkan cara-cara yang baik. Karena ilmu tasawuf ini setengah fitroh. Kemudian yang kedua pendekatan melalui pencerahan secara rohani. Pendekatan ini dengan malakukan zikir, mujahada.
“Hal itu untuk menyiapkan diri menerima hidayah dari Allah, menerima pemahaman, menerima kasyaf, makrifat. Kalau materinya diajarkan, tasawuf itu amal. Orang meski baca buku tasawuf, dia bukan bertasauf, tapi dia hanya sekedar membaca.”
Apakah kita perlu tuntunan atau seorang guru untuk bertasawuf? Jawabanya sederhana, jika pengerajin tempe saja perlu guru maka dalam hal ini sangat perlu dan harus, dia belajar dari SD sampai profesor belajar dengan gurunya, kenapa giliran untuk mencontoh tanpa guru. Tasawuf itukan mencontoh, intinya tasawuf itu mencontoh. Katakan metode tasawuf itu ada tiga yakni zikir, muzahada dan mencontoh. Tapi kalau misalkan ini keberatan maka buang zikir, kalau masih berat lagi ada muzahadah, tapi mencontoh itu tidak bisa dibuang. Nah itu intinya.
Orang ngambil tasawuf itu dari zikirnya, lalu diambil arah-arahannya, mujahadah, kemudian ditinggal gurunya itu tidak bakal jadi, karena yang membuat sholeh itu Allah, bagaimana kita ingin membuat wali sendiri, tidak bisa. Guru itu sarana, maka tasawuf itu intinya subha (mencontoh) bukan zikir atau mujahadah, tetapi ketika guru ingin membentuk, membentuk itu melalui upaya melakukan pendidikan yang dilakukan gurunya, yang lalu si gurunya itu punya nilai-nilai pendidikan disini (di hati), kalau tidak itu hanya mengajar, bukan mendidik.
Maka, agar muridnya siap menerima limpahan dari Allah, maka dia (murid) harus mau diperintahkan untuk membuang nafsunya dengan zikir dan muzahadah. Sebetulnya muzahada dan zikir itu suatu arahan untuk muridnya untuk menerima contohnya itu, kalau tidak ya tidak bisa.(Wisnu)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid