“Jaman kini tak ada lagi yang berkata, “Ana al Haqq” seperti ucapan al Hallajj. Melainkan orang berucap “God is dead”, seperti diungkapkan Nietszche. Makanya diperlukan tassawuf, untuk memahami “Allah Hayyun”.
Ini tentang mencari asal ‘pluralisme’. Paham yang bercokol pada liberalisme kini. Ada yang menuduh asal mulanya berasal dari ‘tassawuf falsafati’. Ini style tassawuf yang berkembang masa mu’tazilah dulu. Kita mengenal sosok besar yang mengagungkannya, Muhyiddin Ibnu Arabi. Ulama kesohor dalam dunia tassawuf. Beliau ulama besar dari Andalusia, yang gemar mengembara. Serial Ertugrul mengabadikannya, sosok yang ikut mengawal perjalanan ‘Ertugrul’ menanam benih Daulah Utsmaniyya yang perkasa.
Ini memang ada benarnya. Karena memang Ibnu Arabi sosok yang bisa menjelaskan tassawuf, di jaman mu’tazilah. Ingat, masa Ibnu Arabi hidup, paham mu’tazilah tengah berkembang pesat. Andalusia, negerinya, dikuasai paham mu’tazilah yang memuja filsafat Yunani kuno. Di sanalah sejatinya problematikanya. Di sanalah sejatinya akar kata ‘pluralisme’ itu bisa di dapat.
Tapi gaung Ibnu Arabi menggurita hingga kini. Bermacam tafsir tentang dirinya. Tapi jamak melekat seolah dirinya melantunkan tentang paham ‘Wahdatul wujud”, yang kerap dibincangkan hingga kini. Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa kini mengatakan, “Dari ratusan buku yang ditulis Shaykh Al Akbar, tak satu pun tertera kalimat ‘wahdahul wujud,’” katanya. Jadi, sekiranya paham ‘wahdatul wujud’ itu memang menjadi ciri khas ajarannya, tentu akan berulang-ulang dia lontarkan.
Dalam buku-bukunya maupun dalam ajarannya. Shaykh Muhammad Danial Nafis, muqadim Zawiyya Ar Raudhah pernah mengatakan, “Persoalannya terletak pada pembaca Ibnu Arabi, bukan pada ajaran Ibnu Arabi, melainkan pada ‘pembaca’-nya,” katanya. Dari sini nampak terang. Tentang bagaimana dakwaan pada Ibnu Arabi akan paham ‘wahdatul wujud’-nya.
Lalu ditariklah garis. Seolah Ibnu Arabi meneruskan apa yang diajarkan Manshur al Hallaj. Ini kisah besar dalam dunia tassawuf. Kaum wahabbi kerap hanya menjadikan tassawuf itu sebagai ‘al hallaj’. Kisah ‘al hallaj’ di gelontorkan sepenggal, seolah begitulah tassawuf. Padahal bukan. Karena epos ‘Al Hallaj’ penuh dinamika.
Gurunyanya sendiri, Imam Junaidi al Baghdadi yang memvonisnya dalam persidangan resmi. Beliau sebagai qadi, karena Imam Junaid merupakan Qadi masa itu. “Secara syariat beliau bersalah, tapi secara hakekat, hanya Allah Subhanahuwataala yang mengetahuinya,” demikian kata Imam Junayd.
Nah, ini epos yang jarang dikutip. Tentang bagaimana Guru sufi menghukum anak muridnya, ketika ditemukan adalah pelanggaran penyimpangan, secara syariat. Imam Junayd menggariskan, tassawuf tidak bisa menyimpang dari syariat. Karena syariat itu adalah jalan besar. Dan tariqah itu merupakan jalan kecil. Inilah jalur tassawuf, pilar penting dalam Dinul Islam.
Kaum wahabbi hanya memvonis tassawuf itu bid’ah, yang sejatinya itu hanya pretensi politik agar mereka dianggap sahih memberontak pada Daulah Utsmaniyya, yang berkuasa masa Muhammad Ibn Wahab yang berkoalisi dengan Ibnu Saud. Tak lebih.
Ucapan terkenal Al Hallaj, “Ana al Haq”, ini yang seolah menjadi masalah. Tentang bagaimana kesatuan makhluk dengan Dzat. Dari sini muncul perdebatan dalam dunia tassawuf.
Tapi “Ana al Haq” tentu berbeda dengan masa kini. Entah siapa yang kini mengucapkan hal itu lagi. Karena jamak kini yang terjadi adalah ‘God is dead’, seperti diungkapkan Nietszche. Ini lebih mendunia. Karena jaman telah berganti. Ucapan “Ana al Haq” itu muncul di era muslimin sebelum masuknya paham filsafat yunani kuno. Sebelum era mu’tazilah.
Pasca berkembangnya ajaran ‘wahdatul wujud’-nya al Hallaj, disitulah masuk mu’tazilah. Al Farabi mendengungkan. Tentang bagaimana ‘kesatuan’ itu suatu yang musykil. Beliau menafsirkan banyak ajaran Socrates, Aristoteles sampai Plato. Walau lebih condong pada Aristoteles. Dari sini sebenarnya bibit ‘pluralisme’ itu lebih banyak muncul. Ketimbang dari urusan “Ana al Haq” tadi. Tapi soal kasus Al Hallaj, tetap dianggap bersalah. Karena parameternya adalah syariat.
Yang lebih berbahaya tentu urusan “God is Dead”. Nietszche menunjukkannya. Dia mengungkapkan pasal nihilisme. Ini bukan dalam makna tassawuf. Melainkan bagaimana hilangnya nilai-nilai. Hampir berbanding terbalik dengan ‘Ana al Haq’ tadi. Karena ‘wahdatul wujud’ lebih condong pada aqidah jabbariyya.
Sementara filsafat memasuki aqidah qadariyya. Ini keduanya dianggap penyimpangan, dalam aqidah ahlul sunnah waljamaah. Nah, masa kini, masa sekarang, bukan jabbariyya yang mendominasi. Melainkan melejitnya neo mutazilah, yang muncul dari pasca rennaisance di Eropa. Ini yang lebih berbahaya.
Wahdatul wujud berhenti populer ketika paham mu’tazilah datang. Al Farabi menelorkan tentang emanasi. Kebenaran ganda. Tentang bagaimana manusia dibekali ‘akal bawaan’, seperti teori Aristoteles. Manusia, katanya, bisa mencapai ‘Kebenaran’ (the Truth) dengan akalnya. Plato menyebutnya sebagai “ide bawaan”. Sama saja. Intinya, akal sebagai parameter utama. Paham ini yang antitesa dari ‘wahdatul wujud’, hingga kemudian urusan panteisme menjadi berhenti.
Ibnu Sina mengajarkan tentang bagaimana fokus pada memahami lahiriah, disitulah pencapaian tentang ‘Ma’rifatullah’. Jadi berbalik dengan ajaran tassawuf. Tapi paham mu’tazilah membesar. Hingga beberapa Khalifah menganutnya. Bahkan kisah Khalifah Ma’mun al Rasyid, puteranya Harun al Rasyid, bermimpi berjumpa dengan Aristoteles, sangat membahana. Dia begitu terkesima dalam mimpinya bisa bertemu Aristoteles. Seolah itu melebihi ketika bermimpi berjumpa Rasulullah Shallahuallaihiwassalam.
Orientalis masa kini, memuja masa keemasan Islam seolah di era mu’tazilah. Ketika sains Islam tinggi. Karena memang demikian filsafat. Begitu diadopsi, maka akan melahirkan sains dan sihir. Itu yang selalu mengikuti. Dimana filsafat mencuat, pasti muncul sains dan sihir yang merujuk pada astrologi dan astronomi.
Ini yang merebak masa mu’tazilah. Al Farabi meletakkan emanasi seolah setara dengan Nabi. Manusia dianggap bisa menemukan ‘Kebenaran’, dengan akalnya. Karena Nabi menemukan Kebenaran dari Wahyu. Sementara filosof, bisa menemukan Kebenaran dari akalnya, dengan penyelidikan.
Alhasil posisi qudrah dan iradah pun bergeser. Tak lagi berada sebagai domain Tuhan. Seolah itu domain manusia. Manusia, dengan akalnya, yang menentukan perihal kehendak dan daya. Makanya filosof kemudian menggeser makna Qada dan Qadar. Ini yang menjadi problem besar perihal Iman. Aqidah. Tauhid.
Disinilah muncul Imam Asy’ari yang meluruskan. Dengan rasionalitasnya juga, mutakallimun menyerang habis kesesatan filsafat. Imam Ghazali keras dengan ‘Tahafut al Falasifah’, menyatakan kesesatan filsafat. Apalagi Al Farabi dan Ibnu Sina, katanya. Karena Imam Ghazali menyatakan, “Akal bisa saja saja salah, jangan mengambil hakekat ajaran agama darinya”. Ibnu Khaldun dalam ‘Muqaddima’, juga mewanti agar muslimin tidak mempelajari filsafat. Karena di sana lebih banyak bahayanya ketimbang faedahnya.
Kemudian muncul Shaykh Abdalqadir al Jilani, yang mengagungkan kembali tassawuf. Dari pengajarannya, melahirkan murid-murid yang mengawal Salahuddin al Ayyubi, merebut kembali Al Quds. Lihat hasil dari filsafat, muslimin kehilangan al Quds dan Andalusia. Itu masa mu’tazilah. Jadi era filsafat bukanlah masa keemasan Islam. Melainkan masa titik rendah muslimin. Karena fase itulah Khalifah pun ditangkap Hulagu Khan. Padahal Baghdad memiliki perpustaakaan besar, Madinatul az Zahra, berisikan ribuan buku-buku filsafat. Ini yang dibakar habis pasukan Mongol hingga membuat sungai Nil menghitam.
Bantahan memang datang dari Ibnu Rusyd, Andalusia. Dia tetap menganggap filsafat tak berbahaya bagi muslimin. ‘Tahafut at Tahafut’. Avveroes mempertahankan kedigdayaan filsafat, walau kemudian paham ini terekspor ke Eropa. Masa Ibnu Rusyd itulah muncul sosok Ibnu Arabi di Andalusia.
Shaykh Abdalqadir as sufi menceritakan bagaimana titik pertemuan Ibnu Rusyd dengan Ibnu Arabi. Beliau menuliskan:
“Ini membawa kembali pada pertemuan Ibn al-‘Arabi, sang Shaykh ul-Akbar, Khatubi termasyhur, yang terbesar di antara para Sufi, ketika dirinya masih belia, dengan Averroes – Ibn Rusyd, filsuf terbesar abad pertengahan yang telah membawa seluruh perangkat-perangkat berpikir yang kelak akan dipergunakan dalam fisafat Jerman, dan karenanya juga sistem teknikal (system of technique), yang menguasai kehidupan kita semua.
Ibn al-‘Arabi dibawa oleh ayahnya menyambangi Ibn Rusyd yang termasyhur itu, yang pada kala itu sudah menjadi lelaki tua renta yang sedang mengajar dalam kelasnya. Shaykh al-Akbar kecil, Ibn al-‘Arabi, duduk di sudut kelas itu dan mendengarkan semua yang Ibn Rusyd katakan di sana. Pada akhir kelas bocah itu berkata, “Ya! Ya! Ya!”, Ibn Rusyd pun berkata “Betapa cerdasnya anak ini!” lalu ia berkata kepada ayahnya, “Anda memiliki putra yang sangat cerdas, ia akan melangkah sangat jauh. Besok ia dapat kembali kemari.”
Maka pada esok harinya, Ibn Rusyd mengajarkan filsafat Aristotelian di kelasnya, Ibn al-‘Arabi duduk di sana dan menyimaknya, lalu ia berkata “Tidak! Tidak! Tidak!” Tentu saja sang filsuf samasekali tidak menyukai hal ini, dan ketika kelas telah usai ia berkata kepada ayahnya, “Tahukah anda, anda memiliki anak yang sangat menyulitkan di sini, dapat saya lihat bahwa anda akan memiliki masalah dengan dirinya.”
Kemudian ia menatapnya dan berkata, “Mengapa kamu berkata ‘Tidak’ kepadaku?” Ibn al-‘Arabi menatapnya sang guru besar tersebut dan berkata, “Itu karena tiba-tiba saja saya melihat bahwa di antara ‘Ya’ dan ‘Tidak’ banyak sekali tenggorokan yang digorok dan kepala yang jatuh dari bahu.”
Inilah faktanya memang. Filsafat Ibnu Rusyd kemudian menyeberang ke Eropa. Diambil Thomas Aquinas. Dia menghidupkan ajaran “Tweez waarden theorie” (ajaran dua pedang). Tentang kebenaran Ganda. Seperti teori emanasi. Manusia memiliki qudrah dan iradah. Daya dan kehendak.
Aquinas menghadirkan Kebenaran ala filsafat. Karena Eropa masih digdaya tentang Kebenaran Gereja Roma. Di sana tak ada “wahdatul wujud”, tapi paham jabbariyya begitu menguat. Seolah menjadi sentral ajaran Gereja Roma. Adagium yang berkembang “Vox Rei Vox Dei” (Suara Raja suara Tuhan). Kekuasaan di tangan Tuhan mutlak. Dan absolute power berada pada Raja, sebagai wakil Tuhan.
Aquinas menggesernya. Dengan filsafat, dia menyodorkan ‘Kebenaran’ baru. Bahwa manusia sejatinya dibekali akal bawaan, seperti teori Aristoteles tadi. Manusia dilahirkan setara. Dengan akal yang melekat padanya. Dari Aquinas kemudian bergeser pada Hobbes. Dia menuliskan Leviathan. Manusia dianggap lahir sebagai kertas putih. Kosong. Sama dan serupa.
Dari sinilah bibit pluralisme itu. karena hakekat manusia sejatinya seolah berada pada fitrah, yang ditentukan setara dengan sesama manusia. Tak ada derajat sebagai bangsawan ataupun agamawan. Leviathan mengajarkan bagaimana makhluk buas, yang memangsa manusia, mempengaruhi manusia. Maka manusia harus menjadi Kebenaran, dengan rasio-nya.
Dari sana kemudian muncul Rene Descartes. Teorinya ‘cogito ergo sum’, “Aku Berpikir maka aku Ada”. Descartes menegaskan bahwa manusia wajib hanya percaya pada akalnya. Aquinas masih memberikan Kebenaran pada Wahyu. Naqli. Tapi sejak Descartes, Kebenaran seolah hanya berada pada rasio manusia.
Sebelumnya, Francis Bacon membuat akrobatik juga, “Aku Ada maka Aku Berpikir”. Disitulah Tuhan seolah didudukkan sebagai pembuat jam. Ketika jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya. Inilah buah filsafat. Cartesius mempertegas, filsafat merupakan ilmu mutlak tentang Kebenaran, “manusia, Tuhan, bintang dan lainnya merupakan area yang menjadi penyelidikan akal manusia.”
Itulah teori cogito ergo sum, yang sampai kini telah berubah menjadi dogma. Ini antitesa dari ‘Ana al Haq’. Karena Tuhan, dianggap Wujud, jika telah melewati akal rasio manusia. Dari titik inilah muncul modernisme. Akal menjadi pijakan utama. Filsafat materialisme mendudukkan aqli sebagai satu-satunya dasar. Tak ada lagi naqli. Masa mutazilah dan rennaisance, aqli dan naqli didudukkan sejajar.
Akrobat baru muncul, Immanuel Kant, yang menelorkan teori empirisme. Dia bilang, jangan terima segala sesuatunya sebelum terbukti telah teruji. Inilah menggeser ‘cogito ergo sum’. Empirisme menjadi ‘kebenaran’ baru. Boro-boro tentang ‘wahdahul wujud’, melainkan bentuk ‘Wujud’ Tuhan seolah hilang, karena manusia harus membuktikan secara empirisme dengan rasio-nya, tentang keberadaan-Nya.
Tentu manusia menjadi tak akan bisa. Karena materalisme menjadi sandarannya. Teori ini yang menjadi pijakan dasar Robbiespierre dalam revolusi Perancis, yang menggunakan bukunya Rosseau, ‘le contract sociale’. Manusia menjadi pemegang qudrah dan iradah. Bukan lagi Tuhan. Karena Voltaire kemudian mengatakan, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah diktator, dan itu tak perlu dipatuhi.” Ini tentu lebih berbahaya ketimbang, “Ana al Haq!”
Dari sanalah kemudian muncul pluralisme. Karena masa revolusi Perancis itulah kudeta terhadap kekuasaan Gereja Roma, dengan menampikkan perihal qudrah dan iradah tadi. Bahwa kekuasaan bukanlah merupakan ‘vox Rei vox Dei,’ tapi merupakan “voc populi vox Dei”. Suara rakyat suara Tuhan. Artinya, manusia yang memiliki kehendak. Bukan Tuhan.
Makanya kemudian muncul Nietszche yang berkata, ‘God is dead!”. Karena memang ‘Tuhan telah mati, karena “dibunuh” dalam alam pikiran manusia. Sebab manusia telah tersihir dengan “cogito ergo sum”, segala sesuatunya merupakan ajang pikiran manusia, untuk menentukan Kebenaran.
Dari filsafat inilah melahirkan filsafat kekuasaan, yang kemudian memunculkan: demokrasi, yang dianggap mewakili suara manusia. Dan filsafat melahirkan filsafat hukum, yang memunculkan konstitusi, hukum buatan manusia. Dan filsafat pun melahirkan filsafat uang, yang melahirkan banking system. Maka uang kertas pun menggantikan emas dan perak. Buah rasionalisasi pikiran manusia.
Lalu dimana hukum Tuhan? Filsafat menggeser bahwa manusia yang berhak membuat hukum sendiri, dengan dalih ‘le contract sociale’ ala Rosseau. Disitulah hukum Tuhan dieliminasi. Makanya kemudian mencuat teori bahwa agama semua sama. Disitulah muncul pluralisme.
Lihat bagaimana pidato Attaturk ketika membubarkan Utsmaniyya dan memunculkan Republik Turki. Nation state. Disitulah dia berpidato, bahwa semua agama menjadi sama saja. Tentang kisah empat orang buta, dalam memegang gajah yang besar. Ada yang memegang ekornya, maka gajah. Ada yang pegang belalainya, maka gajah. Ada yang pegang kupingnya, maka tetap gajah. Ada yang pegang punggungnya, maka tetap gajah.
Begitulah personifikasi tentang Tuhan, dalam persepsi rasio manusia. Bahwa manusia dianggap sebagai orang buta, yang menemukan Tuhan dari berbagai sisi, yang sama. Maka kaum filosof itu menjustifikasi bahwa semua agama menjadi sama saja. Maka yang berlaku adalah hukum buatan manusia. Yang disahkan oleh “state”, buah teori John AustinL positivisme. Inilah dalang dan akar dari pluralisme. Yang menyebabkan kini seolah ‘agama menjadi sama saja di depan semua manusia.’
Wajar kemudian Martin Heidegger memvonis, “Filsafat tak bisa menemukan Kebenaran, karena filsafat bisa dibuat memadai dan tak memadai,’ katanya. Dan Heidegger mengatakan, “the end of philosophy,”. Nietszche juga menegaskan, “Filsafat adalah berhala.”
Lalu bagaimana setelah filsafat tak bisa menjadi rujukan? Inilah saatnya kembali pada tassawuf. Tassawuf yang membuat keagungan masa keemasan Islam, dari masa khulafaur hingga Daulah Utsmaniyya. Karena tanpa tassawuf, disitu pula tak ada masa kejayaan Islam. Maka, tassawuf falsafati diperlukan untuk antitesa dari filsafat.
Sebagaimana Shaykh Abdalqadir as sufi menyampaikan hal yang dikatakan Muhyiddin Shaykh Al Akbar Ibnu Arabi: “Jika engkau hanya menegaskan Tanzih,” seperti halnya golongan wahabbi, bahwa Kedudukan Allah di atas segala-galanya dan mustahil terdapat hubungan dengan makhluk-Nya sama sekali, “maka engkau membatasi Allah.” Sebab jika demikian anda masih tertinggal dalam kebesaran ciptaan-Nya.
“Jika engkau hanya menegaskan Tashbih”, dengan kata lain, seperti golongan panteis yang berkata bahwa Allah terdapat dalam alam semesta, dalam benda-benda, “maka engkau mendefenisikan-Nya.” Tapi, jika anda mensucikan atau meninggikan Allah dari segala sesuatu, anda membatasi-Nya, dan jika anda mengumumkan Allah ada dalam segala sesuatu, maka anda mendefenisikan Dia. “Akan tetapi jika engkau menegaskan kedua-duanya, maka engkau mengikuti ajaran yang benar dan anda adalah ahli ma’rifat”.
Karena Ibnu Arabi mengajarkan, tidak bisa ma’rifat dengan ber-Tanzih tanpa ber-Tasbih, dan ber-Tasbih tanpa ber-Tanjih. Dari sana kita bisa memahami tentang adanya beberapa level manusia dalam memahami Tuhan. Itulah ‘mahjub’, ‘maghjub’, ‘majdzub’, dan ‘mahbub’. Filsafat materialisme tentulah di level mahjub. Inilah yang mendominasi aqidah manusia kini. Karena manusia modern kerap disuguhi bahwa “segala sesuatunya adalah materi.” Ini dasar dari pluralisme tadi. Dan tingkatan ‘mahbub’ itulah yang bisa memahami ‘Tanjih dan Tasbih’ dengan benar. Sementara level maghjub dan majdzub, masih berada dalam kesesatan.
Shaykh Abdalqadir as sufi mengatakan, “Tanjih yang murni tidaklah dapat dicapai dengan cara seperti itu. Imam Malik, Radiallahuanhu berkata, Yang Bersemayam’ diatas Arsy adalah ‘yang dapat diketahui’. Namun seperti apa itu terjadi, mustahil dapat diketahui, dan mempertanyakannya adalah bid’ah.
Memahami hal ini hanya dapat dilakukan dengan ‘Karpetnya Adab’ –dalam berdzikir dan muraqabah. Barulah Alah akan membukakan ‘ahwal’ dari perkara tersebut bagi anda, dan Allah Subhanahuwataala, kemudian akan “mengatakan” kepada anda: ‘mendekatlah’. Muqarabun
Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
Artikel ini ditulis oleh: