Jakarta, Aktual.co — Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai relatif mahalnya harga beras di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional karena tata niaga di pasar.
“Saya berkeyakinan bahwa penyebab harga bukan karena stok, tapi tata niaga di pasar,” kata Firmansyah di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (6/3).
Harga beras di pasaran saat ini berkisar antara Rp12 ribu hingga Rp13 ribu per kilogram. Menurutnya, persoalan kenaikan harga yang paling fundamental adalah masalah pasokan atau ketersediaan dan ongkos produksi. Ketersediaan itu disebabkan oleh cuaca dan gagal panen, sedangkan ongkos poduksi, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan dari menanam benih sampai proses penggilingan padi.
Ketua Dewan Riset Daerah NTB ini menambahkan bila Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional (Divre) NTB selaku otoritas yang menjaga ketersediaan beras, menyatakan cadangan beras di NTB aman hingga lima bulan ke depan, berarti stok aman.
“Lalu kenapa masih saja naik harganya,” ujar Firmansyah.
Menurut dia, ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab, pertama secara nasional, stok beras di daerah sumber produksi disalurkan di beberapa kota besar yang terkena dampak banjir. Misalnya, Jakarta dan sekitarnya, yang kebutuhan akan beras cukup tinggi. Hal itu menyebabkan stok beras di daerah penyangga, termasuk NTB menipis.
Kedua, kenaikan harga karena dampak psikologis (mendengar daerah lain naik) atau karena ongkos produksi yang meningkat. Misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan biaya distribusi beras menjadi meningkat. Begitu juga pada proses penggilingan, ongkos tenaga kerja juga mengalami peningkatan, sehingga pemilik penggilingan padi menaikan ongkos giling padi.
Ketiga, petani mengalami gagal panen atau mengalami keterlambatan dalam menanam menyebabkan ada ekspektasi konsumen bahwa akan terjadi keterlambatan panen dalam beberapa bulan ke depan (saat panen), sehingga beras banyak yang ditahan untuk dijual ke pasar.
Keempat, di sebagian tempat harga pupuk dan obat-obatan pertanian masih tinggi harganya dan bahkan di sebagian tempat mengalami kelangkaan, sehingga beberapa padi tumbuh tidak sesuai yang diharapkan.
“Ini akan mempengaruhi ekspektasi konsumen terhadap jumlah produksi ke depan, mungkin sekitar satu hingga dua minggu masa panen ke depan,” ujarnya.
Memang secara teori, kata dia, setinggi apa pun harga beras tetap akan mengalami yang namanya titik jenuh, yaitu posisi harga yang tidak mampu lagi dijangkau konsumen.
Pada posisi ini produsen juga akan mengalami kerugian bila tetap menetapkan harga tinggi karena tidak akan banyak beras yang dijual. Namun, pemerintah perlu melakukan penetrasi pasar dengan menjalankan operasi pasar dalam jangka pendek ini.
Bila karena persoalan biaya produksi, lanjut Firmansyah, perlu diamati persoalan harga dan ketersediaan pupuk, ongkos penggilingan dan juga biaya transportasi. Dengan begitu, pemerintah bisa saja mensubsidi ketiga unsur itu. Bila karena faktor ketersediaan, pemerintah segera membentuk sistem informasi ketersediaan (stok) antardaerah.
“Misalnya, stok di Kabupaten Bima masih cukup melimpah, dapat disalurkan ke Sumbawa atau pun sebaliknya,” kata Firmansyah.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka

















