Pekerja membersihkan bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Rabu (18/5). Pemerintah memastikan ketersediaan komoditas pangan seperti bawang merah, beras, dan cabai cukup untuk memenuhi kebutuhan sebelum dan setelah Ramadan, antara lain dengan cara memastikan keberadaan stok bawang merah di empat pasar induk senilai 300 ton per hari dan tambahan 8000 ton bawang merah dalam dua minggu ke depan. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/kye/16.

Jakarta, Aktual.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mensinyalir masalah tata niaga pangan yang terjadi selama ini belum dikelola dengan baik. Sehingga ketika menghadapi masa bulan Ramadan dan Lebaran, harga terus naik.

“Dari temuan audit kami, ada persoalan data yang menjadi masalah kronis yang selama ini belum dapat dilaksankan pemerintah. Belum ada validitas data. Baru bulan lalu Presiden Jokowi minta data soal pangan sumbernya harus satu, BPS,” terang Anggota IV BPK, Rizal Djalil saat konfrensi pers di Gedung BPK, Senin (20/6).

Menurut Rizal, dengan data yang salah menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga salah. Sehingga apakah kebijakannya harus impor pangan atau tidak, itu harus diawali dari data yang benar.

“Tentu saja BPK juga tidak merekomendasikan dilarang impor atau boleh impor. Kami hanya melihat kinerja dari kementerian terkait itu. Intinya kami harap kebijakan pemerintah harus menyejahterakan petani tapi juga harga pangan tidak tinggi,” papar dia.

Menurut dia, hasil audit kinerja yang sudah dilakukan BPK akan disampaikan hasilnya, Selasa (21/6) besok. Ia enggan menyebutkan apakah hasil ausit tersebut ada kerugian negara atau tidak. “Besok ya,” ucapnya.

Di tempat yang sama, Staf Ahli Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan BPK, Blucer Welington Rajagukguk menyebutkan, BPK memeriksa terkait rasionalisasi dari kebijakan impor yang harus diperjelas.

“Ini saling terkait. Karena ini adalah pemeriksaan kinerja BPK, jadi kami ingin rekomendasikan terkait masalah yang sudah lama terjadi. Sehingga angka produksi jadi tidak akurat. Dan rasionalisasi impor selama ini kurang jelas,” papar dia.

Selama ini, kata dia, metodologi perhitungan produksi itu berubah terus. Apalagi soal luas lahan juga selama ini datanya hanya berdasar pandangan mata.

“Dan dari tenuan kami itu ditemui ada persoalan ewuh pakewuh dalam tata niaga pangan. Sehingga kebijakannya serba tidak enak dengan atasan, dan sebagainya,” ujar Brucer.

Selain itu, posisi luas lahan selama ini, juga menjadi persoalan besar ysng kerap dimanipulasi pemerintah.

“Selama ini ada luas lahan itu sering manipulatif. Kadang luas lahan sudah berubah peruntukkannya masih digunakan sebagai data luas lahan lama. Salah satunya kita rekomendasikan itu harus menggunakna teknologi dalam mengukur luas lahan,” papar dia.

Besok BPK akan mengundang Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Bulog, dan lembaga terkait untuk menjelaskan hasil tata niaga pangan yang semrawut ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan