Nelayan beristirahat di pasar ikan dermaga Pelabuhan Samudera, Bitung, Sulawesi Utara, Jumat (4/12). Revitalisasi Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung masih kekurangan lahan minimal 20 hektare, hal tersebut mempengaruhi kapasitas dermaga bongkar muat yang terbatas sehingga tidak bisa untuk kapal berkapasitas lebih dari 30 GT yang akhirnya diatasi dengan pembangunan dermaga berukuran 150 meter dan 130 meter. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/15.

Jakarta, Aktual.com — Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta bertentangan dan akan melanggar hak asasi manusia dari nelayan tradisional berskala kecil.

Siaran pers KNTI yang diterima di Jakarta, Sabtu (12/12), menyebutkan, pelanggaran HAM itu akibat tiadanya perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional dan skala kecil.

Padahal, KNTI menegaskan bahwa Teluk Jakarta merupakan wilayah pengelolaan dari nelayan tradisional dan skala kecil sejak turun-temurun.

Sejak 2014, Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization) bersama negara anggotanya telah menyepakati Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil (VGSSF).

Perlindungan ini dilakukan dari pengakuan hak akses dan memanfaatkan sumber daya laut yang dilakukan dengan identifikasi wilayah tangkap.

Pemerintah Indonesia telah mengakui pedoman sebagai upaya perlindungan dengan menggunakan pendekatan HAM, namun dari hasil penjelasan yang didapatkan dari Konsultasi Publik yang diadakan oleh Badan Legislatif Daerah DKI Jakarta pada 11 Desember 2015, KNTI menyatakan tidak diakuinya wilayah tangkap nelayan skala kecil.

Untuk itu, rancangan perda terkait tata ruang Pantura Jakarta dinilai KNTI secara jelas akan melanggar Undang-Undang Perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dengan melindungi wilayah tangkap nelayan skala kecil yang memberikan hak kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah perikanan Indonesia.

Tidak berbeda dari acara konsultasi publik lainnya, acara bertajuk penyerapan aspirasi masyarakat dinilai hanya menjadi ajang formalitas legislasi.

Sebagaimana diketahui, di rezim keterbukaan informasi publik dengan berlakuknya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Pemprov DKI Jakarta wajib mempublikasikan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Rencana Kawasan Strategis Pantura DKI pada media yang mudah diakses masyarakat.

Terbukanya Raperda tersebut penting bagi publik, terutama masyarakat terdampak untuk mengawal proses legislasi Raperda. Selain itu, rencana yang menitikberatkan pada perencanaan proyek reklamasi ini harus disebarluaskan ke publik secara transparan mengenai dampak dan keuntungan reklamasi bagi publik.

Misalnya, dokumen lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) harus dipublikasikan supaya publik dapat memastikan bahwa proyek ini sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby