Yudi Latif
Yudi Latif

Saudaraku, perwujudan demokrasi Orde Reformasi tampaknya tak disertai prasyarat fundamental yang ditekankan para pemikir liberalisme klasik. Prasyarat yang dimaksud adalah rule of law, meritokrasi dan akuntabilitas. Yang terjadi di sini, rule of law ditepikan rule by law; meritokrasi ditepikan mediokrasi; akuntabilitas ditepikan kleptokrasi dan personalisasi kekuasaan.

Bagaimana pun juga tak ada sistem politik yang sempurna. Maka, dua patokan perlu diperhatikan untuk tata kelola yang baik. Pertama, gerak progres itu memerlukan dukungan stabilitas, maka jangan merobohkan semua tiang tradisi.

Edmund Burke dalam Reflections on The Revolution in France (1790) mengecam revolusi Perancis yang memenggal habis warisan masa lalu, kendati ada unsur-unsur baik yang patut dipertahankan. Dalam kaitan ini, tradisi fundamental seperti eksistensi lembaga MPR sebagi rumah permusyawaratan berbagai unsur kekuatan rakyat seyogianya dipertahankan.

Kedua, gerak progres juga memerlukan usaha penyesuaian secara terus-menerus seiring dengan perkembangan zaman. John Micklethwait & Adrian Wooldrige dalam The Fourth Revolution: The Global Race to Reinvent the State (2014) mengingatkan bahwa negara-negara sejagad saat ini berada di tengah pacuan untuk mereinvensi (tata kelola) negara dalam rangka merespons perkembangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan persaingan global.

Tata kelola negara yang baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar dan komunitas. Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, tak harus dengan cara “mendayung” (rowing), yang memerlukan otot aparatur negara yang besar; cukup secara “mengemudi” (steering) dengan mengaktifkan segala peran, fungsi dan agensi secara partisipatif dan koordinatif.

Dalam tata sejahtera, setidaknya ada dua persoalan yg melemahkan negara kita. Pertama, kesenjangan yang makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial. Padahal, ketidakadilan dan kesenjangan lebar bukan hanya buruk bagi yang miskin, tapi juga berbahaya bagi yang kaya.

Richard Wilkinson & Kate Picket dalam The Spirit Level: Why Greater Equality Makes Societies Stronger (2009) menyimpulkan bahwa kesenjangan lebar bisa memicu polarisasi sosial, kecemburuan dan prasangka, memudarkan rasa saling percaya, yang pada ujungnya membawa risiko kemunduran kesehatan fisik dan mental, bahkan bisa merembet pada peluluhan capaian pembangunan bangsa secara keseluruhan.

Kedua, Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita. Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan defisit neraca perdagangan, tak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif.

Kita harus mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka. Harus dipastikan bahwa yang berkembang di negeri ini bukan sekadar pembangunan di Indonesia, tetapi pembangunan Indonesia–pembangun dari, oleh, dan untuk bangsa Indonesia, seraya tak lupa memberi pada dunia. Alangkah malangnya, bila dalam kisah bangsa sendiri, justru bangsa lain yang menjadi aktor utamanya. Jauh-jauh hari Bung Karno mengingatkan, “Bangsa yang tidak percaya pada kekuatan dirinya tak dapat berdiri sebagai bangsa merdeka.”

Oleh: Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan