“Untuk itu program ini kita prioritaskan mereka yang dituakan oleh mereka (senior),” katanya.
Dyan menambahkan, menuntaskan persoalan tawuran menjadi tugas berat karena dihadapkan pada terbatasnya lapangan pekerjaan dan masyarakat yang tidak memiliki keterampilan.
Berkaca pada kejadian tawuran Manggarai bulan September 2019 lalu, sekitar 200-300 pelaku tawuran yang ada di Manggarai adalah remaja usia produktif antara 15 sampai 25 tahun yang tidak memiliki keahlian dan putus sekolah.
Dia menyebutkan sebagian besar kepala keluarga di wilayah Manggarai berprofesi sebagai pekerja serabutan.
Kondisi ini lanjut dia, menyebabkan para pemuda di wilayah tersebut tidak memiliki aktivitas rutin sehingga mengaktualisasikan diri melalui media sosial.
“Di media sosial mereka saling sahut-sahutan dan menentukan waktu untuk tawuran, biasanya diawali dengan membakar petasan dua kali itu tanda untuk main (tawuran), biasanya seperti itu,” kata Dyan.
Artikel ini ditulis oleh: