Saat ini dana repatriasi mencapai Rp200 triliun saja sangat susah, apalagi sesuai target Rp1.000 triliun. Dan dana yang katanya mau direpatriasi juga masih belum banyak masuk ke dalam negeri.

Termasuk juga basis pajak (tax bases) tak terlalu menggembirakan jika dibanding ekspektasi awal. Kondisi negatoif lainny, kata dia, tax amnesty ini telah mengganggu likuiditas di perbankan.

“Sebab dana-dana yang digunakan untuk membayar uang tebusan itu diambil dari perbankan. Makanya kemarin-kemarin likuiditas perbankan cukup drop,” jelas dia.

Artinya, kata dia, dampak postif tax amnesty yang mestinya menggerakan perekonomian justru menjadi efek negatif, salah satunya terhadap kemampuan perbankan nasional. Sekalipun hal itu jangka pendek, tetap harus diwaspadai.

Enny juga menyoroti tak variatifnya instrumen investasi yang disediakan untuk menampung dana repatriasi itu. Karena jika asal investasi yang penting return-nya tinggi, maka tak akan menguntungkan perekonomian.

“Yang penting itu, uangnya bisa stay minimal tiga tahun. Tapi bayangkan kalau fund manager membawa dana untuk diinvestasikan yang berasal dari repatriasi, sementara yang dimasukkan tadi bebas ditaruh di mana pun, lantas bagaimana ini efektif menggerakkan pertumbuhan ekonomi?” tandasnya.

Saat ini, pasca tax amnesty, pemerintah akan banyak menebar ancaman. Namun sayangnya, ketika tax amnesty berlangsung, pelayanan dari Direktorat Jenderal Pajak buruk.

“Kalau begitu, dunia usaha bisa saja dong mengancam akan capital outflow. Artinya pemerintah juga jangan ancam-mengancam tapi tak membenahi permasalahan selama tax amnesty ini,” pungkas dia.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka