Jakarta, Aktual.com-Program pengampunan pajak (tax amnesty) sudah menyelesaikan program periode pertama dengan tarif uang tebusan sebesar 2 persen sampai 30 September 2016 lalu.
Selama tiga bulan ke depan, program ini harus bisa memperbanyak repatriasi dana dan aset, seperti tujuan utama dari program ini. Apalagi memang jika dilihat dari jumlah deklarasinya, ternyata deklarasi luar negeri itu lebih sedikit dari deklarasi dalam negeri.
“Ini sangat mengherankan. Ternyata amnesti pajak ini lebih banyak deklarasi dalam negerinya. Artinya, dana-dana yang ada di dalam negeri ini memang sudah banyak dan hanya mengendap di perbankan,” cetus pengamat ekonomi politik UGM, Revrisond Baswier, kepada Aktual.com, di Jakarta, ditulis Sabtu (8/10).
Memang, hingga awal periode kedua ini, dari deklarasi dana yang mencapai Rp3.621 triliun, ternyata sebanyak Rp2.533 triliun atau 70% merupakan deklarasi dalam negeri. Untuk deklarasi luar negerinya hanya sebesar Rp951 triliun atau sekitar 26%, bahkan dana repatriasinya cuma Rp137 triliun alias 4% dari total deklarasi.
Untuk itu, kata dia, dengan data yang sudah dikantongi oleh pemerintah dari periode pertama ini, pemerintah harus bisa menciptakan reformasi sistem perpajakan sesegera mungkin.
“Selama ini adanya tax amnesty, semula berharap banyak dana dari luar, malah dari dalam yang banyak. Dan repatriasinya kecil. Mestinya ini jadi pelajaran. Jadikan sebagai titik tolak pemerintah untuk mereformasi perpajakan di 2017 ini,” jelas dia.
Terlebih Presiden Joko Widodo sendiri selalu mengatakan, tax amnesty ini bagian dari kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sehingga jika dana repatriasi itu rendah, jangan-jangan memang ada kesan dunia usaha masih belum percaya terhadap pemerintah.
“Karena saya kira dana di luar itu memang banyak. Tapi karena sudah ada di luar jadi sulit untuk menjangkaunya. Apalagi bentuknya fix assets. Dan sekalipun nanti ada keterbukaan informasi tetap saja mereka enggan mendeklarasikannya,” ungkap dia.
Pasalnya, menurut Revrisond, wacana Automatic Exchange of Information (AEoI) itu, sekalipun semangatnya akan diberlakukan pada 2018 nanti, mungkin sekali ada negara yang mengakalinya.
“Sebab masalahnya itu dunia terus bereaksi. Sehingga ada modus baru yang membuat aset-aset di luar negeri itu menjadi tak terlaporkan juga. Jadi tetap aman. Dan AEoI itu tak berlaku,” ujarnya.
Atau juga dengan strategi, aset itu segera dialihkan ke investasi lain seperti properti. Sehingga dana itu tak ketahuan karena sudah tak mengendap di perbankan.
“Seperti di Singapura, tiba-tiba WNI kita membeli properti. Kalau ada informasi bank dibuka maka sudah hilang (dana itu). Jadi tidak di bank lagi, karena sudah jadi properti. Tetap tak ketahuan kan,” jelas dia.
Namun jika dikaitkan dengan kepercayaan WP besar yang masih rendah dan membuat enggan untuk merepatriasi dananya, sebut Revrisond itu salah satunya.
Karena, di sisi lain, negara penyimpan dana, seperti Singapura, juga terus menghalangi agar dana tersebut tak lari dari perbankan negara tersebut.
“Kita lihat seperti Singapura. Jadi repatriasi dana itu dipengaruhi oleh otoritas keuangan negara di luar, karena mereka tetap melindungi kepentingannya, dengan segala insentif,” pungkas dia.Program pengampunan pajak (tax amnesty) sudah menyelesaikan program periode pertama dengan tarif uang tebusan sebesar 2 persen sampai 30 September 2016 lalu.
Selama tiga bulan ke depan, program ini harus bisa memperbanyak repatriasi dana dan aset, seperti tujuan utama dari program ini. Apalagi memang jika dilihat dari jumlah deklarasinya, ternyata deklarasi luar negeri itu lebih sedikit dari deklarasi dalam negeri.
“Ini sangat mengherankan. Ternyata amnesti pajak ini lebih banyak deklarasi dalam negerinya. Artinya, dana-dana yang ada di dalam negeri ini memang sudah banyak dan hanya mengendap di perbankan,” cetus pengamat ekonomi politik UGM, Revrisond Baswier, kepada Aktual.com, di Jakarta, ditulis Sabtu (8/10).
Memang, hingga awal periode kedua ini, dari deklarasi dana yang mencapai Rp3.621 triliun, ternyata sebanyak Rp2.533 triliun atau 70% merupakan deklarasi dalam negeri. Untuk deklarasi luar negerinya hanya sebesar Rp951 triliun atau sekitar 26%, bahkan dana repatriasinya cuma Rp137 triliun alias 4% dari total deklarasi.
Untuk itu, kata dia, dengan data yang sudah dikantongi oleh pemerintah dari periode pertama ini, pemerintah harus bisa menciptakan reformasi sistem perpajakan sesegera mungkin.
“Selama ini adanya tax amnesty, semula berharap banyak dana dari luar, malah dari dalam yang banyak. Dan repatriasinya kecil. Mestinya ini jadi pelajaran. Jadikan sebagai titik tolak pemerintah untuk mereformasi perpajakan di 2017 ini,” jelas dia.
Terlebih Presiden Joko Widodo sendiri selalu mengatakan, tax amnesty ini bagian dari kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sehingga jika dana repatriasi itu rendah, jangan-jangan memang ada kesan dunia usaha masih belum percaya terhadap pemerintah.
“Karena saya kira dana di luar itu memang banyak. Tapi karena sudah ada di luar jadi sulit untuk menjangkaunya. Apalagi bentuknya fix assets. Dan sekalipun nanti ada keterbukaan informasi tetap saja mereka enggan mendeklarasikannya,” ungkap dia.
Pasalnya, menurut Revrisond, wacana Automatic Exchange of Information (AEoI) itu, sekalipun semangatnya akan diberlakukan pada 2018 nanti, mungkin sekali ada negara yang mengakalinya.
“Sebab masalahnya itu dunia terus bereaksi. Sehingga ada modus baru yang membuat aset-aset di luar negeri itu menjadi tak terlaporkan juga. Jadi tetap aman. Dan AEoI itu tak berlaku,” ujarnya.
Atau juga dengan strategi, aset itu segera dialihkan ke investasi lain seperti properti. Sehingga dana itu tak ketahuan karena sudah tak mengendap di perbankan.
“Seperti di Singapura, tiba-tiba WNI kita membeli properti. Kalau ada informasi bank dibuka maka sudah hilang (dana itu). Jadi tidak di bank lagi, karena sudah jadi properti. Tetap tak ketahuan kan,” jelas dia.
Namun jika dikaitkan dengan kepercayaan WP besar yang masih rendah dan membuat enggan untuk merepatriasi dananya, sebut Revrisond itu salah satunya.
Karena, di sisi lain, negara penyimpan dana, seperti Singapura, juga terus menghalangi agar dana tersebut tak lari dari perbankan negara tersebut.
“Kita lihat seperti Singapura. Jadi repatriasi dana itu dipengaruhi oleh otoritas keuangan negara di luar, karena mereka tetap melindungi kepentingannya, dengan segala insentif,” pungkas dia.
Oleh: M Busthomi
Artikel ini ditulis oleh: