Pengamat AEPI, Asosiasi Pengamat Ekonomi Indonesia Salamudin Daeng, Wakil Ketua LKKNU, Luluk Nurhamida, Direktur Alvara, Hasanuddin Ali, Dosen FE UI, Berly Martawardaya menjadi narasumber pada acara diskusi di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (23/2/2016). Diskusi tersebut membahas tema "Tak Pa Pa Tolak TPP".

Jakarta, Aktual.com – Postur fiskal pemerintah saat ini sepertinya masih terbebani dengan target penerimaan negara dalam APBN Perubahan 2016. Dengan target perajakan yang tak akan tercapai bisa berpotensi melewati batas defisit yang diamanatkan dalam UU Keuangan Negara.

Di satu sisi, pemerintah yang mengusung program pengampunan pajak (tax amnesty) dengan menargetkan dana tebusan sebesar Rp165 triliun, sepertinya juga takan tercapai. Maka pemerintah juga akan melanggar UU Pengampunan Pajak.

“Dalam program tax amnesty itu, pemerintah Jokowi berpotensi melanggar UU. Karena pemerintah sendiri tak menjalankan secara optimal malah ada dugaan permainan kotor terjadi dalam proses pengampunan wajib pajak (WP) kelas kakap,” tutur ekonom UBK, Salamuddin Daeng, di Jakarta, Minggu (11/9).

Sementara dalam defisit anggaran, kata dia, dalam UU Keuangan Negara, diatur batas defisit tak boleh melebihi 3 persen. Namun sepertinya, dalam prediksi dia, bisa melebihi 3 persen tersebut. Beberapa indikatornya terlihat dari postur APBNP 2016 itu.

Menurut dia, dari sisi perencanaan anggaran di APBNP 2016 itu sangat ambisisius. Seperti dalam target penerimaan perpajakan yang mencapai Rp1.539,2 triliun.

Angka tersebut terdiri dari target penerimaan pajak mencapai Rp1.355,2 triliun dan target penerimaan dari bea-cukai sebesar Rp184,0 triliun. Target pajak sendiri berasal dari pajak non migas sebanyak Rp1.318,9 triliun serta pajak penghasilan (PPh) migas sejumlah Rp36,3 triliun.

Sementara target pengeluaran atau belanja negara mencapai Rp2.082,9 triliun.

“Jika target penerimaan pajak tak tercapai atau sama dengan penerimaan tahun lalu yang hanya Rp1.000 triliun, maka defisit akan bisa lebih dari 4% dari PDB (Produk Domestik Bruto),” jelas Salamuddin.

Bahkan, kata dia, kondisi fiskal pemerintah akan lebih parah lagi, jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memperoleh utang besar. Paling tidak, menurutnya, utangan sebanyak Rp 500 triliun di tahun ini atau sama dengan tahun anggaran 2015 harus dikantongi pemerintah.

“Jika itu tak terjadi, maka negara akan terancam tak bisa bertahan, atau ‘government shutdown’. Pemerintah masih ada, tapi tidak ada gunanya lagi,” tandas dia.

Meski pemerintah sudah mengusung program tax amnesty, tapi nyatanya tak akan sesuai target, sehingga kembali menjadi beban anggaran pemerintah.

“Jalan keluarnya, pemerintahan Jokowi harus mengajukan APBNP kedua tahun 2016 ini. Untuk merevisi target penerimaan nrgara. Tapi pertanyaannya, apakah DPR mau membahas? Karena semua ada biayanya, sebagaimana pembahasan UU Tax Amnesty,” pungkasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby