Jakarta, Aktual.com — Usulan Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak John Hutagaol untuk memberlakukan tax amnesty demi menyerap uang Indonesia yang ada di luar negeri beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Sedikitnya Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Suryadi Sasmito, dengan sangat meyakinkan mengatakan akan mampu membawa kembali 100 triliun rupiah uang Indonesia.
Berbeda dengan kalangan pengusaha, Anggota Komisi XI Fraksi Partai NasDem Donny Imam Priambodo menilai kritis usulan tax amnesty yang tengah diwacanakan. Donny menilai ide tersebut akan menjadi sia-sia tanpa adanya kebijakan tarif dan aturan hukum yang tegas dalam sistem keuangan Indonesia.
Ia mengonfirmasi bahwa jumlah uang orang Indonesia di luar negeri cukup besar nilainya dan berpotensi menjadi pemasukan bagi negara.
“Menurut data yang saya terima, setidaknya lebih kurang 3.000 sampai 4.000 triliun uang warga negara Indonesia yang berada di luar negeri,” ujar Donny dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis (2/7).
Namun demikian, menurutnya, adanya tax amnesty tidak serta-merta membuat para pengusaha suka rela membawa masuk kembali uangnya ke Indonesia. Adanya warning dari perbankan dunia, bahwa tahun 2017 perbankan dunia akan membuka akses terhadap rekening dan memudahkan penelusuran pajak, juga tidak menjadi pertimbangan penting.
Menurut Donny, salah satu faktor yang akan menjadikan para pengusaha pemilik uang di luar negeri berminat menarik kembali uangnya ke Indonesia adalah besaran tarif pajak yang akan dikenakan negara terhadap aset para pengusaha ini.
Dalam pandangannya besaran maksimum tarif pajak yang akan dikenakan negara semestinya tidak terlampau besar.
“Kalau kita sudah cek kira-kira maksimum tarif pajak bagi mereka itu adalah di angka 3 persen. Karena (saya dan rekan-rekan Komisi XI menilai) angka tersebut masih masuk akal, sehingga dengan tarif yang tidak terlalu besar tesebut diharapkan mereka mau memasukkan uangnya ke Indonesia. Kalau angkanya melebihi tarif tersebut, orang akan berpikir ulang untuk membawa (kembali) uangnya,” paparnya.
Lebih jauh Donny mengatakan, ada hal yang tak kalah penting selain tarif rendah dalam pemberlakuan tax amnesty. Faktor tersebut adalah adanya kepastian pemberlakuan norma hukum perpajakan.
“Jika sudah pemutihan, ya sudah, jangan diungkit-ungkit kembali. Maka mereka tidak akan merasa tidak nyaman (lagi) setelah memasukkan uangnya. (Jangan) setelah dipotong dengan tarif pajak yang wajar, tetapi masih dikenakan dengan hukuman terkait permasalahan pajak,” katanya.
Anggota Badan Anggaran DPR ini berharap jangan sampai tax amnesty nantinya malah menjadi hal yang menyulitkan pengusaha dan wajib pajak di kemudian hari. Ia mencontohkan pemberlakukan sunset policy jilid II yang pernah diberlakukan oleh Dirjen Pajak yang menurutnya kurang mendapat tanggapan positif dari kalangan pengusaha dan wajib pajak. “Sanksi dibebaskan namun denda harus dibayarkan disertai dengan kompensasi,” ungkapnya.
Dony menegaskan pentingnya kepastian hukum sebelum tax amnesty diberlakukan. Kemudahan dan keringanan yang diberikan oleh Negara terhadap pengusaha dan wajib pajak harus pasti dan tidak memiliki celah menyulitkan mereka.
“Dengan kemudahan itu saja masih ragu, malah bisa dianggap oleh ‘jebakan batman’ bagi mereka,” kelakarnya mengakhiri.
Artikel ini ditulis oleh: