Jakarta, Aktual.co — “HorniKULTura”, sebuah kelompok pertunjukan publik menggelar aksi teatrikal untuk memprotes kebijakan Pemerintah Kota Semarang yang dinilai kian menggerus ruang terbuka publik.
Aksi teatrikal itu dimainkan oleh belasan aktivis “HorniKULTura” di beberapa titik di Kota Semarang, antara lain Jalan Raya Jrakah, kawasan Tugu Muda, dan Mal Simpanglima Semarang, Jumat (05/12).
Dengan mengenakan kostum warna-warni, para aktivis “HorniKULTura” memainkan “kuda kepang” yang terbuat dari bambu dan pelepah pisang mengitari para pengendara yang berhenti di “traffic light”.
Mereka bermain spontan, tanpa musik, tanpa koreografi, dan keteraturan lainnya, namun bebas berekspresi dan bermain layaknya anak-anak, seolah mengejek karena macet membuat laju kendaraan lebih lambat dari kuda tunggangan anak-anak.
Menurut koordinator lapangan “HorniKULTura” Anton Soedibyo, aksi teatrikal itu mengusung kritik atas kebijakan pemerintah yang lebih bersifat alternatif, tetapi tidak solutif mengatasi masalah.
“Sebagai contoh, untuk mengatasi kemacetan. Pemerintah mencari cara mudah dengan membangun jalan. Padahal, seberapa pun panjang jalan dibangun tetap tidak mampu mengejar pertumbuhan jumlah kendaraan,” katanya.
Pembangunan jalan, kata dia, justru merupakan cara efektif merangsang industri kendaraan menaikkan penjualan, meningkatkan polusi udara, dan memunculkan problem lain, seperti lahan parkir dan kebutuhan energi.
Di sisi lain, ia mengungkapkan keberadaan ruang-ruang terbuka publik malah semakin tergerus dan halaman rumah yang dulunya untuk kebun dan tempat bermain anak-anak berubah menjadi jalan-jalan.
“Sarana interaksi antarwarga menjadi terputus dengan hilangnya ruang-ruang terbuka publik. Terdistorsi dan terintervensi kebisingan dan kemacetan lalu lintas kota,” tukasnya.
Padahal, kata dia, ada kebijakan lain untuk mengatasi kemacetan yang sebetulnya sudah diketahui pemerintah tetapi justru tidak serius dilaksanakan atau mungkin tidak mau melaksanakannya.
“Misalnya, pembangunan transportasi massal, pajak kendaraan progresif, pembatasan penjualan kendaraan, tarif parkir mahal, atau pelarangan penggunaan untuk aparat pemerintah non-operasional,” katanya.
Makanya, kata dia, “HorniKULTura” melakukan “performing art” untuk menggugah kesadaran pemerintah agar memikirkan setiap kebijakan secara baik, termasuk menjaga keberadaan ruang-ruang terbuka publik.
“Kami pilih Tugu Muda kenapa? Tugu Muda dianggap telah berhenti sebagai simbol kebanggaan Kota Semarang karena fungsinya sebagai ‘landmark’ kalah oleh tempat-tempat konsumtif, seperti mal,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:

















