Jakarta, Aktual.com — Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menindaklanjuti perjanjian kontrak tukar guling saham PT Dayamitra Telkom (Mitratel), dengan PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk (TBIG).
Dia menduga ada kejanggalan dalam perjanjian yang sudah disepakati oleh anak perusahaan PT Telkom tersebut.
“Itu ada kejanggalan terkait kontrak kerja itu,” kata Uchok kepada Aktual.com di Jakarta, Selasa (7/7).
Menurut dia, sudah waktunya lembaga antirasuah menelisik adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang bisa dikategorikan pelanggaran pidana dalam kerjasama itu. Bahkan, lanjut Uchok, perjanjian tersebut sudah diperpanjang pada 30 Juni lalu.
“Lebih baik sudah saatnya KPK masuk untuk menelusuri kontrak itu karena ada dugaan penyalahgunaan wewenang, nah itulah. Udah diperpanjang jadi jangan dikaji lagi,” ujarnya.
Untuk itu, Uchok menambahkan, agar perjanjian tukar guling saham ini tidak menuai pro kontra, maka baiknya KPK memanggil petinggi dari PT Telkom untuk dimintai penjelasan apakah perjanjian tersebut dapat menguntungkan negara atau sebaliknya.
“Gimana KPK ini kontrak sudah diperpanjang, kalau demikian sudah bukan saatnya untuk mengkaji lagi. Panggil itu dirut Telkomnya,” tandasnya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji mengatakan, kebijakan yang sempat disetujui Menteri BUMN, Rini Soemarno itu dapat diduga sebagai penyelewengan hukum dan tidak bisa dikategorikan sebagai mekanisme bisnis.
“Yang sudah pasti dari segi ‘share swap-nya’ yang tidak bisa lagi dikategorikan sebagai “business judgement’, tapi dugaan melawan hukum, khususnya pelanggaran aturan internal,” tegas Indriyanto, saat dikonfirmasi, Jumat (3/7) lalu.
Saat ini lembaga antirasuah tengah melakukan kajian mendalam. Kali ini, kajian yang dilakukan KPK lebih spesifik merujuk pada perjanjian kerjasama yang sudah disepakati oleh PT Telkom dan PT TBIG. “Kajian lebih mendalam masih dilakukan,” terangnya.
Untuk diketahui, rencana ‘share swap’ saham Mitratel dengan TBIG dianggap oleh Menteri Rini sebagai jalan Telkom untuk membesarkan bisnis menara. Alasannya, dengan langkah tersebut Telkom tidak akan dibebani biaya modal untuk menambah jumlah menara yang nilainya bisa mencapai Rp1,5 triliun – Rp2 triliun per tahun.
Mitratel sendiri merupakan anak perusahaan PT Telkom yang bergerak dalam bisnis penyediaan infrastruktur telekomunikasi, salah satunya berupa penyediaan menara telekomunikasi (tower provider) untuk wilayah Indonesia. 100 persen saham Mitratel dimilik oleh Telkom.
Direktur TBIG, Helmy Yusman Santoso mengatakan bahwa rencana tukar guling saham (share swap) antara perusahaannya dengan Mitratel masih berjalan, sesuai perjanjian Conditional Sales ad Purchase Agreementy (CSEA) yang sudah ditandatangani pada 10 Oktober 2014 silam.
Dalam perjanjian tersebut, mekanisme penukaran saham dilakukan dengan dua tahap. Pertama, 49 persen saham Mitratel akan ditukar dengan 290 juta lembar saham milik TBIG. Selanjutnya, TBIG menerbitkan 473 lembar saham baru pada saat PT Telkom Indonesia menukarkan sisa 51% saham Mitratel.
Proses transaksi yang telah bergulir sejak 2014 sempat terhambat karena dari pihak Telkom belum memutuskan. Telkom harus menuntaskan satu syarat yakni restu dari Dewan Komisaris.
Beberapa waktu lalu, Menteri Rini menyatakan telah menerima laporan secara lisan dari Dewan Komisaris Telkom mengenai nasib rencana transaksi tukar guling saham Mitratel tersebut.
“Minggu lalu mereka (Dewan komisaris Telkom) melaporkan secara lisan kepada saya sudah mengadakan rapat dengan direksinya bahwa sudah bersama-sama menyetujui transaksi Mitratel batal. Kemarin waktu lapor ke saya begitu. Tolong tanya ke Komisaris dan Direksinya,” kata Rini.
Namun demikian, pada Rabu (1/7), Vice President Corporate Communication Telkom Arif Prabowo justru mengungkapkan hal yang bertolakbelakang. Dia mengatakan bahwa Telkom baru saja memperpanjang masa perjanjian bersyarat CSEA yang telah berakhir pada 30 Juni 2015.
Dijelaskannya, langkah memperpanjang masa CSEA karena perseroan sangat menghormati proses review dan klarifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang berlangsung dan juga Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR yang sedang diskors.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby