Jakarta, Aktual.co — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara faktual berdiri pada 7 Agustus 1994, sesudah terjadinya pembreidelan terhadap tiga media pada 21 Juni 1994 silam.
Namun, cikal bakal AJI dan benih-benih kelahiran AJI sudah disemaikan jauh sebelum terjadinya pembreidelan tersebut. Di era represif Orde Baru sendiri, sudah sering terjadi pembreidelan.
Pembreidelan pada 21 Juni 1994 hanyalah melengkapi daftar terakhir dari sekian kasus pembreidelan dan pemberangusan kebebasan pers, yang pernah ditimpakan pada pers Indonesia.
Koorporatisme yang diterapkan rezim Soeharto, dengan menjadikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya organisasi jurnalis yang diakui (sekaligus dikooptasi) oleh penguasa, telah merusak kehidupan pers untuk waktu yang lama.
Ada beberapa kondisi waktu itu yang dapat menunjukkan, bahwa AJI bukanlah organisasi yang berdiri semata-mata karena sakit hati.
Sebaliknya, AJI adalah sebuah organisasi jurnalis, yang landasan pendiriannya lebih berakar pada idealisme dan prinsip kebebasan pers. Pertama, sekitar tahun 1991 (sebelum pembreidelan 21 Juni 1994), pernah ada pertemuan informal belasan jurnalis di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat.
“Dalam pertemuan tersebut, yang juga saya hadiri, dibicarakan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus omongan tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI, ” ujar Satrio Arismunandar.
“Ada juga keinginan untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi aksi konkret. Saya tak ingat persis nama-nama jurnalis yang hadir di acara itu. Yang masih saya ingat, jurnalis Saur Hutabarat, Herdi SRS, dan Dhia Prekasha Yoedha, ikut hadir,” katanya.
“Kedua, di berbagai kota, sebelum berdirinya AJI, sudah ada komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri, ” katanya lagi.
Sementara itu, dalam kenyataannya para aktivis jurnalis dari sejumlah komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi Sirnagalih. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama aliansi untuk AJI, dan bukan ―persatuan seperti PWI.
Ketiga, sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya justru tidak berasal dari media yang dibreidel, namun justru dari media-media lainnya. Kecuali satu-dua orang, bisa dibilang tak ada satu pun wartawan eks-Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan AJI pada masa-masa awal berdirinya.
Sejauh yang saya tahu, Saur Hutabarat (waktu itu menjabat salah satu pimpinan Editor, red) meminta para jurnalis Editor untuk tidak terlibat aktivitas AJI, karena bisa merusak peluang Editor untuk terbit lagi dan memperoleh SIUPP baru.
“Kalau melihat dari persentase, mungkin yang agak banyak terlibat dalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid DeTik,disusul kemudian dengan para jurnalis Majalah Tempo. Meskipun jumlah wartawan Tempo lebih banyak, para jurnalis Tempo terbelah dua, ” terang Satrio.
“Separuh di antaranya berseberangan dengan Goenawan Mohamad, dan memilih bergabung mendirikan Gatra, yang dimodali oleh kroni Soeharto, Bob Hassan. Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama eks-Tempo sendiri. Waktu itu sempat muncul wacana ―boikot Gatra. AJI waktu itu saya menjadi Sekjennya- memilih tidak mengeluarkan sikap resmi soal Gatra ini, karena dipandang lebih merupakan masalah internal rekan-rekan sesame eks-Tempo.”
“Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya sebagian mereka ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih, ” paparnya lagi. (Sumber : Satrio Arismunandar, Redaktur Senior Aktual.co/ Urbanitas). Bersambung………
Artikel ini ditulis oleh: