Palu, Aktual.com – Pria paruh baya itu sedang berdiri di atas puing-puing bangunan sebuah pemukiman di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Puing-puing itu adalah sisa dari bangunan di sebuah pemukiman yang sebelumnya bernama Perumnas Balaroa. Andi Mustafa, nama pria paruh baya itu, adalah salah satu warga Perumnas Balaroa yang selamat usai gempa hebat yang menerjang Sulteng pada 28 September lalu.
Puing-puing itu adalah sisa cerita dari kehidupan Perumnas Balaroa yang kini hilang. Kini, pemukiman itu tertimbun di dalam tanah akibat likuefaksi atau fenomena tanah mencair yang menyedot semua obyek di atasnya.
“Tiba-tiba tanah goyang,” kata Andi mengisahkan saat-saat likuefaksi kepada tim Aksi Cepat Tanggap sebagaimana dilansir dari Antara, Jum’at (5/10), yang mengutip dari laman ACT.
Sore itu sudah menunjuk pukul 18.02, waktu di mana Maghrib telah tiba. Andi tengah bersiap menuju surau dekat rumahnya untuk menunaikan sholat Maghrib.
Mendadak tanah bergoyang saat ia berjalan ke kamar untuk mengambil sarung. Spontan, terdengar teriakan istrinya yang menyuruh Andi agar segera keluar dari rumah.
Saat itu, tanah yang tampak kuat dan kokoh untuk dipijak, secara cepat berubah menjadi gelombang layaknya ombak di samudera. Tak hanya itu, kerasnya aspal di jalan pun sampai terlipat ke atas mengikuti gerakan tanah yang begitu liar kala gempa 7,4 SR datang.
Andi melihat semua kejadian itu.
Lalu, dengan mengandalkan seng yang menjadi atap pemukiman, kelincahan melompat dan tekad, ia mencoba bertahan hidup di atas genteng guna menghindari ajal.
“Tak bisa saya lari sempurna, hanya bisa merayap pegangan tembok,” kata Andi sambil mempraktikkan caranya menyelamatkan diri.
Saat itu, ia sempat tertimpa bangunan rumah dan tak bisa bergerak dibuatnya. Dalam kondisi demikian, ia hanya hanya bisa memanjatkan doa dan terus melafalkan doa kepada sang khalik.
Seakan mendapat jawaban dari Tuhan, tembok yang menindihnya akhirnya merekah karena likuefaksi sehingga membuatnya dapat selamat hingga kini.
Setelah berhasil ‘kabur’ dari tembok, Andi pun bertahan di atap rumah.
“Tembok itu berjalan ke belakang saya,” kata dia.
Sayangnya, nasib baiknya tidak menular -atau setidaknya belum- ke keluarganya. Istri dan keluarga Andi hingga kini belum ditemukan.
Saat bertemu tim ACT, Andi tampak sedang serius memperhatikan tanah, mengangkat puing sambil berharap melihat tubuh pasangannya dalam keadaan selamat.
Perumnas Balaroa memang menjadi salah satu lokasi dengan kondisi paling hancur pascagempa. Bukan karena tsunami, bukan efek langsung dari gempa, namun, likuefaksi, ya karena pencairan tanah.
Saat ini, evakuasi korban masih berlangsung, termasuk di Perumnas Balaroa. Tim Tanggap Bencana Darurat ACT, Kusmatadi, mengatakan, Desa Balaroa berada cukup jauh dari pesisir pantai, tidak terkena gelombang tsunami.
Di bawah perumahan penduduk ini melintang sesar Palu-Koro, yang menjadi penyebab gempa. Patahan ini membentang dari utara ke selatan, membelah kota Palu.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan