Ilustrasi pajak. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Para pelaku industri tekstil hingga pengembang Senin (16/9) hari ini menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka. Mereka mengeluhkan pajak di Indonesia masih menjadi salah satu masalah yang memberatkan, dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk tertentu hingga pajak progresif tanah.

Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengaku telah mengusulkan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk impor kapas yang selama ini digunakan industri sebagai bahan baku.

“Khusus untuk kapas, karena kapas nilai tambahnya tidak ada. Karena itu sebagai bahan baku,” kata Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat menjelaskan selama ini pemerintah memang telah memberikan kemudahan bagi para industri melalui kemudahan impor tujuan ekspor. Namun, pelaku usaha ingin pemerintah juga memberikan kemudahan dalam kaitan ekspor.

“Sehingga supply chain dalam negeri bisa terjalin. Kalau tidak kita terus memberikan order ke luar terus karena impor. Supaya pajak-pajak bisa ditangguhkan karena tujuan ekspor,” jelasnya.

Pengusaha tekstil terutama sektor hulu, sempat berteriak bahwa ada masalah soal Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.

Aturan itu mengatur soal TPT hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang memiliki API-P (produsen) dan perusahaan yang memiliki API-U (pedagang). Selain itu, perusahaan pemilik API-U dapat diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

Konsekuesinya industri TPT sektor tengah antara hulu dan hilir memilih bahan baku kain untuk bahan baku industrinya, efeknya sektor hulu tak terserap pasarnya. Kondisi ini diperparah para para importir pedagang boleh mengimpor tekstil.

Sementara itu, Ketua Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman mengaku telah meminta pemerintah untuk membantu industri properti agar keluar dari jurang krisis, salah satunya masalah perpajakan.

“Saat ini ada isu mengenai pajak progresif, pajak laba ditahan, kemudian juga masih belum jelas tentang pajak final maupun non final. Jadi ingin kami sampaikan bahwa kita berharap pemerintah tidak ada kebijakan baru soal perpajakan,” kata Soelaeman.

Menurutnya, selama ini aturan perpajakan untuk sektor properti kerap kali membuat psikologis pelaku usaha sehingga menahan diri untuk melakukan ekspansi. Hal ini, dianggap memberatkan.

“Tiba-tiba ada isu pajak dengan laba ditahan. Laba ditahan bukan keuntungan, tapi modal untuk investasi berikutnya. Sehingga kita merasa ini tidak perlu dilakukan,” katanya.

“Contoh dulu ada pajak final dan non final. Strategi perusahaan akan berbeda kalau pemberlakuan pajak final atau non final. Sehingga apabila terjadi perubahan kebijakan atau isu perubahan kebijakan, itu akan membuat pengembang berhenti dulu untuk bekerja,” jelasnya.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut para perwakilan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Real Estate Indonesia (REI), dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi).

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan