Jakarta, Aktual.com – Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Wianda Pusponegoro mempertegas posisi Pertamina akan melanjutkan proses lelang Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa I di Muara Tawar, Bekasi.

Meskipun diketahui PLN telah mengubah skema penyediaan energi primer pada pembangkit listrik dengan kapasitas 2×800 megawatt (MW) itu. Perubahan tersebut yakni jika sebelumnya penyediaan energi primer dilakukan produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP) pemenang tender, sekarang disediakan oleh PLN.

“Pertamina sangat serius untuk mengarap proyek ini dengan baik, makanya sejak awal kita menggandeng konsorsium yang kredibel dan mempunyai sumber serta mempunyai kemampuan untuk melakukan proyek dengan baik. Jadi kita akan lanjut dan mengikuti proses yang ada,” ujar Wianda di Jakarta, Senin (27/6).

Sebagaimana diketahui, PLN mengubah konsep lelang, hanya beberapa waktu sebelum lelang dibuka pada 25 Juli 2016. Atas perubahan tersebut, Pertamina sempat melayangkan surat kepada PLN pada 13 Mei lalu. Pertamina keberatan jika PLN memutuskan untuk mengubah skema lelang. Ini lantaran persiapan konsorsium untuk mengikuti lelang pembangkit berikut dengan pasokan gasnya akan ikut berubah, terlebih Pertamina sudah menggandeng Total Gas.

Pertamina memang telah mempersiapkan diri mengikuti lelang tersebut. Pertamina juga telah membentuk konsorsium dan bertindak sebagai ketua. Dalam konsorsium tersebut, Pertamina menggandeng Marubeni Corporation, General Electric sebagai penyedia teknologi, serta Total Gas & Power untuk membantu sebagai pemasok gas.

Untuk membangun pembangkit tersebut, Pertamina telah menyiapkan dana investasi USD 2 miliar. Investasi tersebut sudah termasuk pembangunan unit penyimpanan dan regasifikasi gas terapung atau Floating Storage Regasification Unit (FSRU). Untuk kebutuhan dana sebesar 70 persen akan berasal dari pinjaman, sedangkan 30 persen sisanya merupakan ekuitas perseroan.

Mencermati persoalan itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman mengatakan posisi PLN sekarang memang sangat rawan intervensi bahkan sudah merasa di atas regulator, pasalnya ada lebih Rp1.000 triliun yang jadi rebutan mafia listrik.

Dalam hal ini juga karanga menempatkan Pertamina dalam posisi ‘terjepit diantara para gajah-gajah’ di belakang peserta tender PLTGU Java 1 di Muara Tawar, Bekasi.

Sesuai Request For Proposal (RFP) dari PLN yang dibuat oleh konsultan Ernst & Young sebagai kuasa PLN untuk melelang pekerjaan PLTGU Java, dengan rencana titik serah listrik bisa dilakukan di dua titik, yaitu Muara Tawar dan Cibatu Baru (dekat dengan Cilamaya).

“Dua titik serah ini mempertimbangkan efisien pembangunan PLTGU. Peluang lokasi ini yang sangat menguntungkan bagi konsorsium Pertamina adalah bisa menggunakan Cilamaya untuk membangun PLTGU-nya, sedangkan bagi peserta yang lain bisa membangun PLTGU tersebut di dekat Muara Tawar harus dengan cara mereklamasi pantai Muara Tawar,” ujar Yusri Usman di Jakarta, Sabtu (26/6).

Namun demikian, lanjutnya, reklamasi tersebut termasuk dalam biaya proyek investasi, sehingga ketentuan ini membuat peserta lain tidak akan bisa bersaing dengan Pertamina yang tentu saja akan jauh lebih murah dan lebih cepat membangunnya dibandingkan peserta yang lain.

“Pertamina akan mampu menyelesaikan CoD (commerce operation date) pada tahun 2019 atau bahkan bisa lebih cepat dari jadwal proyek, sementara pesaing yang lain seperti konsorsium Mitsubishi dan Rukun Raharja, Adaro dan Sembcorp, Medco dan Nebras dan lainnya baru mampu status komersialnya/COD paling cepat tahun 2020 dengan biaya yang jauh lebih mahal,” ungkapnya.

Keunggulan Pertamina inilah yang kemudian ditakuti oleh peserta lain sebagai kompetitornya, sehingga mereka melakukan segala cara tidak etis dengan memperalat Kementerian BUMN. Melalui salah seorang komisarisnya, memaksa Pertamina untuk mundur dari kesertaannya dalam proyek ini dari rencana batas penawaran yang dilakukan pada 25 Juli 2016.

“Adapun operasi yang dilakukan untuk menekan direksi Pertamina dimulai dengan adanya perintah lisan dari salah satu anggota Komisaris Pertamina, agar Pertamina tidak usah terlibat di bisnis power, sehingga harus mundur dari peserta tender PLTGU Java 1,” ungkapnya.

Anehnya sang komisaris tersebut menyatakan perintah itu atas arahan Menteri BUMN. Padahal Pertamina melalui keputusan BoD (Board of Director ) sudah memutuskan untuk tetap maju tender Java 1, meski RFP dari PLN direvisi ditengah jalan dengan tidak memasukkan LNG suplai sebagai kewajiban pemenang tender IPP yang dikenal dengan istilah “lockin”, tetapi energi primer gas disediakan oleh PLN dan sudah dapat jaminan suplai LNG dari Tangguh.

“Lucunya kebijakan PLN sebagai BUMN adalah untuk menutup peluang Pertamina yang bisa lebih murah menawar dalam tender PLTGU ini.  Padahal kesiapan Pertamina dalam tender PLTGU Java 1 sangat baik untuk kepentingan korporasi dan PLN lebih murah membeli listriknya dan tentu rakyat juga yang akan diuntungkan akibat efisiensi ini,” jelasnya.

Selain sudah memiliki tanah dan sudah ada, lanjutnya, juga ada jaminan suplai LNG yang lebih murah.  Sehingga tanah milik  Pertamina di Cilamaya sangat strategis untuk menjadi tempat membangun PLTGU IPP nya.

“Tidak perlu melakukan reklamasi laut di Muara Tawar, dan pekerjaan reklamasi laut di Muara Tawar itu selain akan menambah biaya juga akan memperlambat waktu COD selama setahun,” terang Yusri.

Pertamina dan mitranya Marubeni mampu melakukan COD pada tahun 2019, tetapi peserta tender lain sebagai kompetitornya baru bisa komersial/COD paling cepat pada tahun 2020.

“Arahan yang merugikan di atas, patut diduga direkayasa oleh pesaing Pertamina dalam tender Java 1 dengan ber-KKN dengan salah satu Komisaris Pertamina.  Mundurnya Pertamina dari Java 1 bukan hanya merugikan Pertamina, tetapi  juga merugikan negara, karena harus melakukan reklamasi dan keterlambatan COD 1 tahun,” jelasnya.

Melihat cara tender yang dilakukan oleh pihak PLN, rawan diintervensi kekuatan cukong ini akan membuat harga investasi dan harga beli listrik oleh PLN akan semakin mahal dan rakyat juga sebagai korban membayar tarif listrik per Kwh akan jadi mahal.

“Contohnya hal dialami PT. Bukit Asam, PLN menolak kabel HVDC agar PLTU mulut tambang PTBA tidak jadi,  tentu yang bangun adalah pihak tertentu di Jawa.  PLN bahkan berani menolak RUPTL. Saya sangat prihatin atas kentalnya intervensi kekuasaan dalam program listrik 35.000 MW yang akan berpotensi mangkrak, sehingga Presiden Jokowi harus segera turun tangan membenahi kekisruhan ini agar publik bisa percaya bahwa program ini bukan hanya program bagi hasil sesama pendukung presiden atas balas jasa pada saat Pilpres 2014  dan persiapan Pilpres 2019,” pungkasnya. (Dadangsah)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka