Jakarta, Aktual.com – Publik saat ini tentunya mengenal “poco poco”, merupakan lagu yang sangat disenangi oleh para ibu-ibu untuk menari ‘gerak maju mundur’. Namun, kiranya ‘poco-poco’ tersebut sudah tertular nyata dalam proses tender PLTGU Jawa 1 yang dilakukan oleh jajaran direksi PLN.
“Pasalnya tender PLTGU Jawa 1 tersebut di awal mei 2016 telah terjadi perubahan mendadak di tengah jalan, bahwa yang pada proposal awalnya sumber gas sebagai energi pembangkit disyaratkan merupakan kewajiban konsorsium pemenang tender yang menyediakannya, dirubah menjadi disediakan oleh PLN dan sumber gas nya berasal dari lapangan Tangguh Papua,” ujar Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman di Jakarta, Rabu (27/7).
Selain perubahan tersebut, ternyata diujung jadwal pengajuan proposal terakhir ditetapkan pada tanggal 25 juli 2016 mendadak ditunda menjadi tanggal 25 Agustus 2016. Hal tersebut menambah rentetan kegagalan program Presiden Jokowi untuk dapat merealisasikan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW di akhir tahun 2019.
“Merujuk keterangan pihak Konsorsium Pertamina dengan Marubeni dan Total Gas & Power yang dikemukan oleh Ginanjar bahwa perubahan mendadak ditengah jalan telah merugikan pihak Pertamina sebesar USD1,5 juta. Jikalau PLN tidak mensyaratkan konsorsium untuk menyediakan gas, tentu Pertamina tidak perlu repot-repot mencari tambahan anggota konsorsium seperti menggandeng Total Gas & Power yang dapat memberikan jaminan sumber gasdengan harga kompetitif,” terangnya.
Faktanya, lanjut Yusri, Pertamina sempat melayangkan surat protes ke pihak Panitia tender PLN. Intervensi pemegang kepentingan pun bertubi-tubi menghampiri Pertamina dan PLN sebagai BUMN. Dugaan intervensi tersebut tentunya untuk memuluskan adanya anggota konsorsium dari kompetitor Pertamina yang akan dijagokan sebagai pemenangnya.
Padahal sejak program listrik 35.000 MW digulirkan oleh Pemerintah Jokowi-JK dengan penuh kontroversial dan sempat memancing pro kontra di ruang publik dengan argumentasinya.
“Untuk mengantisipasi ganguan yang tidak perlu, Presiden telah memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mengawal proses proyek itu sejak awal perencanaan sampai dengan pelaksanaan kontruksi dan komersialnya, agar tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang dapat menggagalkan tujuannya dan berpotensi menimbulkan kerugian negara,” ungkap Yusri.
Apalagi perubahan syarat soal alokasi gas yang disediakan oleh pihak PLN masih menjadi pertanyaan besar, apakah memang benar PLN sudah mendapat alokasi tambahan pasokan gas dari lapangan Tangguh untuk kebutuhan PLTGU Jawa 1, atau bisa jadi alokasi tambahan itu hanya merupakan “pepesan kosong” saja dan sebagai strategi untuk menyingkirkan pihak Konsorsium Pertamina seperti diduga pada saat perubahan mendadak di tengah jalan .
“Agar publik sebagai konsumen akhir pembeli listrik tidak dirugikan oleh ulah ‘mafia infrastruktur listrik’, Penegak Hukum dituntut menyelidiki lebih hal jauh terhadap anomali informasi informasi yang beredar, termasuk pembuktian oleh Penegak Hukum kepada Menteri ESDM,” jelasnya.
Sesuai Peraturan Menteri ESDM nomor 06 tahun 2016, penyempurnaan dari Peraturan Menteri ESDM nomor 37 tahun 2015, pada pasal 3 tegas berbunyi “Menteri yang menetapkan alokasi dan pemanfaatan gas untuk kebutuhan dalam negeri ataupun diekspor”.
“Sehingga apabila pihak Direksi PLN tidak dapat membuktikan adanya persetujuan alokasi gas dari Menteri ESDM pada bulan Mei 2016 untuk kebutuhan PLTGU Jawa 1 dan terkait adanya kerugian nyata oleh sudah oleh pihak Pertamina sebesar USD1,5 juta, maka dapatlah disimpulkan sudah memenuhi 2 unsur tindak pidana koropsi dialamatkan kepada pihak pihak yang bersepakat jahat dalam tender ini,” jelasnya.
Seolah tidak percaya, lanjut Yusri, di era saat ini masih ada Direksi BUMN berpikir dan bersikap lebih mengedepan saling membunuh sesamanya daripada besinergi sesama BUMN. Padahal Menteri BUMN untuk PLTGU Jawa 1 bisa menugaskan komsorsium sesama BUMN yang terdiri dari Pertamina dengan PLN dan PGN, sehingga wacana pembetukan holding BUMN energi yang digadang gadangng bu Rinso hanya “pepesan kosong” saja, karena peraturannya telah ada.
Menurut Yusri, sejak tanggal 3 September 2008 Menteri BUMN telah menerbitkan Peraturan Menteri BUMN nomor: 05/MBU/2008 perihal “perlunya sinergi antar BUMN” dan lebih dipertegas lagi dengan surat edaran nomor: SE-03/MBU.S/2009 yang ditujukan kepada seluruh Direksi BUMN untuk dapat melaksanakan perintah Menteri BUMN agar tercapai efisiensi.
Tetapi, faktanya sangat berbeda dalam implementasinya. Setiap kebijakan dalam sektor energi terkesan masing-masing pihak lebih mengedepankan sikap “egosentris dan arogansi”. Tentu saja, dari kondisi ini publik dapat menyimpulkan bahwa Direksi BUMN ini telah lalai dalam mengamanatkan perintah UU BUMN dan Peraturan Menteri.
“Harusnya Menteri dan Direksi BUMN menyadari bahwa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri itu merupakan “roh” sebagai pedoman dari setiap kebijakan yang dilakukan. Sehingga kalau Penegak Hukum berhasil menemukan bukti bukti dugaan perbuatan melawan hukum seperti tersebut di atas, maka Menteri BUMN layak juga dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka