Jakarta, Aktual.com – Komoditas batu bara jangan lagi menjadi andalan untuk memberdayakan pembangkit listrik karena terdapat beragam tantangan seperti jumlah ketersediaan yang semakin lama semakin menipis di dunia.

“Menurut penelitian, komoditas ini (batu bara) akan habis pada tahun 2035, sedangkan energi terbarukan akan terbangkitkan sampai seterusnya,” kata Wakil Bendahara Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizka Armadhana, Kamis (15/9).

Karena itu, menurut Riza, ketersediaan batu bara tidak bisa lagi jadi andalan ke depan seperti untuk proyek 35.000 megawatt (MW) yang merupakan salah satu program utama yang dicetuskan oleh pemerintah.

APLSI menekankan pentingnya pemerintah beralih kepada pengembangan energi baru dan terbarukan, dengan mengedepankan subsidi untuk program tersebut agar dapat menarik minat banyak perusahaan swasta.

Sebagamana diwartakan, dukungan terhadap penggunaan komoditas batu bara sebagai elemen utama untuk memberdayakan pembangkit listrik, diperkirakan dapat menghambat pengembangan energi terbarukan, kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika.

“Dukungan terhadap PLTU batu bara hanya akan mengunci dan memperlambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” kata Hindun Mulaika.

Menurut dia, kurangnya sumber energi yang dialami 13-15 persen penduduk Indonesia sebenarnya dapat diselesaikan oleh sumber energi terbarukan yang dapat diambil langsung dari sumber lokal, baik itu panas bumi, air, matahari, maupun angin.

Ia juga berpendapat bahwa desentralisasi listrik adalah sistem terbaik untuk menjangkau masyarakat di daerah kepulauan, sehingga dapat menciptakan beragam manfaat antara lain tidak akan banyak hilang daya di transmisi dan akan lebih efisien secara biaya.

“Jadi jelas PLTU batubara skala besar bukanlah jawaban solusi keadilan energi di Indonesia, itu adalah informasi salah yang selalu diungkapkan kepada masyarakat Indonesia agar bisnis pertambangan batubara bisa terus berlangsung ditengah lesunya permintaan pasar global,” paparnya.

Hindun mengingatkan bahwa tidak hanya dampak perubahan iklim, tetapi polusi udara yang dikeluarkan oleh PLTU batu bara juga mengancam kesehatan masyarakat. Sebagaimana diketahui, polusi batu bara dapat menyebabkan berbagai macam penyakit pernapasan, stroke, penyakit jantung sampai kanker paru.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jarman memperkirakan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap pada 2019 akan mencapai 166,2 juta ton.

“Kebutuhan batu bara tersebut meningkat dibandingkan saat ini yang hanya 87,7 juta ton,” katanya saat “workshop” Building Pathways For High Efficiency Low Emissions (HELE) Coal Technology In Indonesia di Jakarta, Selasa (6/9).

Menurut dia, peningkatan kebutuhan batu bara tersebut akibat adanya program pembangunan pembangkit 35.000 MW dan ditambah 7.000 MW dalam tahap pembangunan yang masih didominasi PLTU batu bara.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Arbie Marwan