Jakarta, Aktual.co — Pemerintah siap mencari jalan tengah agar usaha perkebunan dan kehutanan yang telah beroperasi di lahan gambut tidak berhenti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut).

Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto menyatakan terbitnya ketentuan perlindungan dan pengelolaan gambut berupa PP No.71 tahun 2014 memang direspon dengan kekhawatiran akan berhentinya dunia usaha yang sudah berjalan selama ini.

“Untuk itu akan dicari jalan tengahnya agar upaya perlindungan bisa ditegakkan dan usaha di lahan gambut yang sudah ada pun tetap bisa berjalan,” katanya di Jakarta, (13/11).

Kekhawatiran usaha perkebunan dan kehutanan terutama soal ketentuan batas bawah muka air gambut yang ditetapkan 0,4 meter. Jika batas tersebut diterapkan akan membanjiri akar dan menyebabkan kematian pohon pada usaha perkebunan dan kehutanan.

” Kedalaman 0,4 meter itu kan hanya dua jengkal saja. Sementara akar pohon butuh ruang lebih karena bisa tumbuh sangat panjang,” kata Hadi.

Dia menegaskan, untuk pengelolaan gambut memang yang dibutuhkan sebenarnya adalah pengaturan tata airnya.

Hal itu memastikan saat musim penghujan tidak terjadi kebanjir, dan saat kemarau tidak kekeringan yang berpotensi menimbulkan kebakaran sehingga lahan gambut akan terjaga kelestariannya.

Sementara itu Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Suwardi sepakat soal perlunya perlindungan lahan gambut, lahan tersebut juga perlu dikelola mengingat potensi ekonominya yang besar.

Dia menjelaskan gambut dapat dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman tertentu yang dapat tumbuh di lahan dengan keasaman rendah, misalnya akasia, sawit, dan karet.

“Tanaman tersebut akan berproduksi dengan baik jika ditanam di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Berdasarkan penelitian, produktivitas tertinggi ada di gambut paling dalam karena mudah mengatur tata air,” katanya.

Soal adanya kebakaran di lahan gambut Suwardi menyatakan hal itu terkait dengan masalah sosial, bukan soal teknis pengelolaan lahannya.

Menurut dia, penyebab terjadinya kebakaran lahan selalu berkaitan dengan kegiatan manusia yang tidak bertanggungjawab.

“Untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan perlu dilakukan pendekatan secara sosial terkait proses pembukaan lahan masyarakat untuk perkebunan yaitu dengan tidak menggunakan api,” ujar Suwardi.

Sementara itu Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menilai ketentuan itu bakal mengganggu operasional perkebunan kelapa sawit dengan nilai investasi paling sedikit Rp136 triliun dengan berkontribusi pada devisa negara sebesar 6,8 miliar dolar AS setiap tahunnya dan menjadi gantungan penghidupan 340.000 kepala keluarga.

Sekjen Gapki Joko Supriyono menyatakan kerugian akibat tergangggunya perkebunan sawit di gambut bukan hanya dirasakan oleh korporasi, tapi juga diderita oleh masyarakat petani sawit.

Dia mengungkapkan saat ini dari sekitar 9 juta hektare perkebunan sawit sebanyak 42 persen adalah perkebunan skala rakyat.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka