Jakarta, Aktual.co — Banyak dari Anda mungkin belum mengenal dengan  Rabu Wekasan (Jawa: Rebo Wekasan, red). Disini Aktual.co akan menjelaskannya. Rabu Wekasan merupakan tradisi ritual yang dilaksanakan pada Rabu terakhir di bulan Shafar, untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain.

Bentuk ritual Rebo Wekasan meliputi empat hal diantaranya, salat tolak bala, berdoa dengan doa-doa khusus, minum air jimat; dan selamatan, sedekah, silahturahmi, dan berbuat baik kepada sesama.

Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.

Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit dimengerti orang lain) mengatakan, bahwa dalam setiap tahun pada Rabu terakhir di bulan Shafar, Allah SWT menurunkan 320.000 macam bala’ dalam satu malam.

Oleh karena itu, beliau menyarankan umat Islam untuk salat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ tersebut. Tata caranya sebagai berikut salat empat rakaat. Setiap rakaat membaca surat Al Fatihah dan surat Al Kautsar 17 kali, Al Ikhlas lima kali, Al Falaq dan An Nas satu kali. Kemudian, setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak tiga kali. Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu Dhuha).
 
Dalam menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut pandang.
1. Rekomendasi sebagian Ulama Sufi (Waliyullah) tersebut didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari Allah SWT (semacam “inspirasi” bagi masyarakat umum). Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.

2. Ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam rangka menghukumi melainkan hanya informasi dari ‘alam ghaib’. Jadi, anjuran beliau-beliau tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum Syariat.

3. lham yang diterima seorang Wali tidak boleh diamalkan oleh orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan Al Quran dan Hadits. Jika sesuai dengan Al Quran dan Hadits, maka ilham tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.

Memang ada hadits dlaif yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yakni
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..
“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Selain dla’if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).

Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Menurut Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi SAW terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab menulis, “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut.

Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Hadis ini secara implisit juga menegaskan bahwa Bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak memiliki kehendak sendiri. Ia berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Muktamar NU ke-3 juga pernah menjawab tentang hukum berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan. Para Muktamirin mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al Fatawa Al Haditsiyah sebagai berikut:

“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Pencipta. Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat Ali kw. adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54). (Bersambung…./ Dikutip dari berbagai sumber)

Artikel ini ditulis oleh: