Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua DPR Fadli Zon menerima kedatangan Tim Antikomunis yang dipimpin Mayjen (purn) Budi Sujana di DPR, Senin (2/5).
Tim tersebut terdiri dari kelompok penolak komunisme, punawirawan TNI, ormas Islam dan angkatan 1966. Mereka menyatakan keberatannya atas langkah pemerintah menggelar Simposium Nasional Tragedi 1965, pada 18-19 April lalu.
Menanggapi keberatan tersebut, Fadli menilai pemerintah harus belajar soal sejarah peristiwa 1965. Sebab, simposium sangat tidak seimbang dan hasil akhirnya justru dapat menambah persoalan bangsa terkait dengan masalah sejarah.
“Jadi pemerintah harus belajar sejarah yang benar agar kejadian 1965 tidak dibawa kepada kepentingan-kepentingan politik yang berbeda,” ujar Fadli di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta, Senin (2/5).
Menurutnya, peristiwa 1965 murni dimulai dari upaya pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa pembunuhan para jenderal 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S PKI.
“Jelas itu adalah pemberontakan. Karena PKI tidak punya kontribusi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saya kira di dalam sejarah pergerakan Indonesia peran PKI memang tidak ada,” katanya.
Fadli menilai, ada upaya seolah-olah menyalahkan pemerintah atas peristiwa pembunuhan massal anggota PKI hingga memunculkan wacana pemerintah harus minta maaf. Padahal, kata dia, timbulnya pembalasan berupa pembunuhan terhadap anggota PKI merupakan pembalasan spontan yang dilakukan masyarakat, bukan dikoordinasi negara.
“Saya akan jadi penggugat pertama jika pemerintah meminta maaf. Apa urusannya meminta maaf, karena yang memberontak PKI,” cetus Politisi Partai Gerindra itu.
Fadli pun mengatakan, dirinya akan menyampaikan keberatan tersebut kepada pemerintah. Ia menilai, pemerintah saat ini tidak perlu ikut campur atas peristiwa 1965 dan melakukan upaya rekonsiliasi apapun.
“Apalagi rekonsiliasi sudah berjalan dengan sendirinya secara alamiah,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: