Seorang nelayan saat mencari ikan di lokasi proyek reklamasi di kawasan Ancol, Jakarta, Kamis (17/3/2016). Hingga tahun 2030 mendatang Pemprov DKI Jakarta akan membangun 17 pulau reklamasi di pesisir utara Jakarta. Demi mewujudkan rencana tersebut Pemprov DKI Jakarta siap menggandeng pihak swasta.

Jakarta, Aktual.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Badan Legislasi DPR RI telah membahas rencana revisi Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menegaskan Revisi UU Perikanan tersebut harus menjadi pintu masuk bagi kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Indonesia.

“Revisi ini seharusnya melakukan porsi yang besar dengan pembagian usaha perikanan dengan menekankan kegiatan pasca-produksi yang akan meningkatkan nilai komoditas perikanan sehingga dapat bersaing di dalam maupun di luar negeri,” ujar Ketua KNTI Marthin Hadiwinata di Jakarta, Senin (27/2).

Menurut Marthin, Permasalahan UU Perikanan yang sebelumnya diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan dirubah menjadi UU No. 45 Tahun 2009 tidak memiliki pengaturan mengenai pasca-produksi. Pasalnya, secara politik hukum, UU Perikanan masih berfokus berat kepada kegiatan Produksi.

“Ini dilihat dari lebih dari 100 pasal dalam UU Perikanan. Sebanyak 52% membahas tentang produksi, 29,4% membahas tentang praproduksi, 15% mengatur tentang pra hingga pasca produksi, dan hanya 17,6% membahas tentang pasca produksi. Revisi UU Perikanan dengan draft terakhir tertanggal 13 Februari 2017 masih berbicara di tataran yang sama, bertumpu kepada aspek produksi,” tegas dia.

Di sisi lain, sambungnya, dari lebih dari 13 juta tenaga kerja di sektor perikanan, sebanyak 51 persen beraktivitas di produksi (tangkap dan budidaya), 38 persen di pemasaran, dan hanya 11 persen di sektor pengolahan.

Padahal, dengan lapangan kerja yang terbuka di bagian pasca produksi yaitu di pengolahan maka akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih besar. Tentu dengan adanya perlindungan pekerja yang baik meliputi kondisi kerja yang layak, perlindungan asuransi dan masa tua, pengawasan ketenagakerjaan yang kuat hingga masalah pengupahan.

“Tapi hal tersebut juga tidak diatur Revisi Undang-Undang Perikanan,” ketus Marthin.

Selain itu, Marthin menambahkan, permasalahan lintas kementerian dan lembaga juga patut menjadi perhatian khusus. Khususnya terkait dengan hasil uji 226 sampel kapal ikan yang uji petik oleh KKP pada tahun 2015. Hasilnya menunjukkan terdapat lebih dari 80 persen melakukan mark-down berat kotor (gross tonnage) menjadi kurang dari 30 GT.

Hal ini, kata dia, berimbas kepada penyelundupan kewajiban pajak hingga pungutan hasil perikanan dan diperparah dengan mengakses bahan bakar minyak yang disubsidi oleh negara. “Permasalahan ini juga tidak diselesaikan oleh revisi UU Perikanan,” katanya lagi.

Terakhir, terkait dengan nelayan kecil yang masih dihadapkan dengan rezim pengaturan yang sama. Juga, kembali dimarjinalkan dengan pengaturan yang lemah terkait dengan tenurial.

“Nelayan kecil diberikan kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah Indonesia tetapi tidak ada upaya untuk melindungi wilayah perikanan tangkap yang telah dimanfaatkan secar turun temurun,” katanya.

“Pada akhirnya nelayan kecil berada dalam situasi terpaksa kompetisi dengan nelayan/perikanan skala lainnya belum dihadapkan dengan perampasan laut dan tanah melalui proyek reklamasi, infrastruktur di pesisir, dan proyek pariwisata yang meminggirkan warga,” pungkas Marthin.

(Nailin Insa)

Artikel ini ditulis oleh: