Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi Yanuar Rizki, mengatakan persoalan antara taksi online atau berbasis aplikasi dan taksi konvensional yang mengemuka saat ini, bukan karena perusahaan taksi tidak melakukan inovasi, sehingga membuat tidak efisien, tetapi harus dilihat dalam hal kesetaraan bisnis.

Menurut Yanuar, kalau sekarang ingin meratifikasi fenomena business to business (B2B) seperti dikembangkan perusahaan application service provider (taksi online) yang dianggap inovasi, maka yang dihancurkan bukan taksi resmi, tetapi deregulasi aturan main.

“Pilihannya regulasi industri transportasi dicabut menjadi industri bebas dan suka-suka (tidak ada peraturan masuk dan keluar yang diatur otoritas) atau tetap mempertahankan rezim perizinan,” kata Yanuar di Jakarta, Minggu (3/4).

Yanuar juga menyatakan tidak setuju terhadap pendapat yang mengatakan penyedia jasa taksi resmi tidak efisien dalam hal tarif. “Tarif justru ditetapkan karena ada regulasi, seperti, seragam sopir, database sopir, sertifikasi sopir, pul taksi, pemeliharaan, uji layak kendaraan (KIR), pajak (PPn, PPh), dan pungutan daerah,” kata Yanuar.

Menurut Yanuar apa yang dilakukan perusahaan taksi berbasis aplikasi ini adalah mengganti salah satu proses, bukan produknya, yakni proses customer relationship management (CRM), pelanggan tidak perlu memesan melalui telepon atau menunggu panas-panas di pangkalan.

Hal tersebut, menurut Yanuar adalah inovasi di tingkat mikro atau corporate level. Titik awal antara model taksi aplikasi dan konvensional adalah sama yaitu tunduk pada regulasi yang ada. Mematuhi ketentuan hukum yang berlaku adalah kewajiban dasar dimana dalam hal transportasi telah diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum.

Yanuar mengatakan terdapat dua pilihan bagi perusahaan taksi berbasis aplikasi yakni ingin menjadi perusahaan transportasi yang berarti harus mengikuti aturan kementerian perhubungan, tetapi kalau ingin menjadi penyedia layanan aplikasi maka izin mengikuti aturan kementerina komunikasi tetapi mitra/armadanya tetap harus mendapat izin dari kementerian perhubungan.

Karena itu, kata Yanuar, negara memiliki peran penting untuk menjaga persaingan yang sehat. Ketegasan dan perubahan aturan main serta model bisnis dan tarif yang wajar ada di tangan pemerintah. Tanpa itu, konflik horizontal sesama sopir yang hidup pas-pasan akan terus terjadi, ujar Yanuar.

Sebelumnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan legalitas transportasi umum diperlukan demi keamanan dan keselamatan, baik bagi pengemudi maupun penumpangnya.

Penyelenggara taksi berbasis aplikasi, jelas Jonan, harus berkerja sama dengan transportasi yang terdaftar, kemudian juga harus memenuhi seluruh persyaratan seperti memiliki sim A umum dan uji kir.

Jonan tidak mempersoalkan bisnis kerja sama ekonomi dalam taksi berbasis aplikasi, namun yang pasti armadanya harus terdaftar sebagai taksi serta mengikuti seluruh regulasi yang sudah ada.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara