KKIFN tidak mempermasalahkan harga listrik yang murah. Namun yang permasalahan justru timbul karena harga murah tersebut tidak dibarengi dengan pangsa pasar dan regulasi pemerintah. Dirinya mencontohkan, saat proyek PLN terbentuk pihaknya selalu dibenturkan dengan alasan teknis seperti gardu listrik. Padahal investasi di bawah 10MW banyak DPT lokal yang ingin membantu.
KKIFN tidak mempermasalahkan harga listrik yang murah. Namun yang permasalahan justru timbul karena harga murah tersebut tidak dibarengi dengan pangsa pasar dan regulasi pemerintah. Dirinya mencontohkan, saat proyek PLN terbentuk pihaknya selalu dibenturkan dengan alasan teknis seperti gardu listrik. Padahal investasi di bawah 10MW banyak DPT lokal yang ingin membantu.

Jakarta, Aktual.com – Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Nasional (KKIFN) beberapa waktu lalu menggelar Forum Group Discussion (FGD) terkait Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) PLN. Regulasi Kementerian ESDM dinilai tidak sinkron dengan percepatan yang ada, salah satunya terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya.

“Sudah dua kali rencana membangun PLTS di Sumatera dari tahun lalu sampai sekarang belum berjalan juga. Pemerintah menginginkan pembangunan proyek listrik 35.000MW dipercepat tapi fakta yang ada di lapangan, pengembang skala kecil yang ingin ikut proyek PLN, persyaratan dan regulasi disamakan seperti pemodal besar,” ujar Wakil Ketua Umum KKIFN Didi Apriadi di Jakarta, ditulis Sabtu (24/3)

Menurutnya, regulasi Menteri ESDM Ignatius Jonan dinilai kaku dan menghambat Pengembang lokal yang ingin berpartisipasi dalam membangun proyek listrik 35.000MW. Padahal pihaknya tidak meminta keuntungan seperti yang dibilang Menteri Jonan, namun meminta kemudahan regulasi. Pasalnya ada beberapa proyek kecil yang belum bisa berjalan karena terkendalan perizinan mulai dari Pemda, PN raya dan PN pusat.

“Bagaimana industri lokal bisa tumbuh kalau regulasinya kaku, sulit dan susah ditembus. Akibatnya, pengembang lokal susah untuk ikut masuk proyeknya PLN. Sedangkan regulasi yang mau ikut proyek mewajibkan pengembang memiliki modal yang besar. Pengusaha yang tidak punya modal besar tidak bisa ikut,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Jonan meminta produsen listrik swasta mengubah mindset dalam menjual listrik, dari profit oriented menjadi customer oriented. Pasalnya, perjanjian jual beli listrik swasta dengan PLN bisa mencapai hingga 30 tahun. Dengan kontrak yang panjang tersebut, Jonan yakin produsen listrik swasta tetap meraup untung meski menjual listrik dengan harga yang terjangkau.

“Seperti pernikahan ketika berjalan 30 tahun. Tidak terus-terusan senang kan? Kalau mau untung besar jadi currency player atau trader saja,” ujar Jonan.

Menanggapi hal tersebut, pihaknya menilai semestinya sekelas Menteri ESDM tidak pantas bicara seperti itu dalam forum resmi.

“Masa Industri EBT dibandingkan dengan Vallas, itu sama saja merendahkan dirinya sendiri,” jelasnya.

Padahal Presiden Joko Widodo menginginkan program 35.000 MW berjalan dengan cepat dan mampu meningkatkan ekonomi lokal. Namun fakta di lapangan, pengusaha lokal yang tidak mempunyai modal besar susah mendapatkan izin.

“Kalau proyek PLN selalu diberikan kepada pengusaha besar yang sudah masuk list, maka pengembang kecil bisa mati. Sedangkan Jokowi ingin industri lokal tumbuh & harga listrik bisa tetap murah,” tegasnya.

Dirinya tidak mempermasalahkan harga listrik yang murah. Namun yang permasalahan justru timbul karena harga murah tersebut tidak dibarengi dengan pangsa pasar dan regulasi pemerintah. Dirinya mencontohkan, saat proyek PLN terbentuk pihaknya selalu dibenturkan dengan alasan teknis seperti gardu listrik. Padahal investasi di bawah 10MW banyak pengusaha lokal yang ingin membantu.

“Seharusnya PLN pasang tender terbuka karena PLN single buyer investor lokal saat ini masih banyak yang menunggu. Kebijakan menteri ESDM sebelumnya lebih mendukung daripada permen yang baru ini,” ungkapnya.

Pihaknya meminta dukungan penuh dari Menteri Jonan bukan dari sekedar percepatan sektor energi saja, melainkan keberpihakan Pemerintah kepada pengusaha lokal yang kecil-kecil.

“Investor boleh dari luar, tapi komponen harus dari lokal. Permen sekarang hanya mengakomodir pemain besar saja, padahal secara teknologi DPT/pengusaha lokal lebih gesit. Ini bukan soal keuntungan saja, tetapi memperbanyak jumlah DPT/pengusaha lokal dapat meningkatkan percepatan ekonomi lokal juga,” jelasnya.

Untuk diketahui, Perrmen ESDM 50/2017 mengatur perubahan formula harga pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik, PLTB, PLTBm dan PLTBg dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga patokan pembelian tenaga listrik semula sebesar sama dengan BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat, menjadi ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Sedangkan untuk PLTP, PLTA dan PLTSa, formula harga dilakukan secara B to B untuk wilayah Jawa, Bali dan Sumatera dan maksimum BPP setempat untuk wilayah lainnya. Selain itu diatur juga penambahan ketentuan mengenai persetujuan harga, dimana semua pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan wajib mendapatkan persetujuan dari Menteri ESDM dengan menggunakan pola kerja sama Build, Own, Operate, and Transfer (BOOT), kecuali PLTSa.

Dalam permen 50 ada beberapa hal yang membuat pengembang keberatan, selain masalah tarif ada tiga hal yang sebaiknya diselesaikan secara bijaksana oleh PLN, yaitu masalah BOOT Tanah, Pembangkit EBT kecil dan jadwal yang efisien.

“Masalah BOOT tanah, sebaiknya pada saat penyerahan harga tanah diapresial (tidak diambil alih PLN begitu saja) jadi lebih adil. Kedua, untuk pembangkit EBT skala kecil di bawah 10MW, termasuk PLTS seharusnya pengadaan dilakukan secara sederhana di wilayah untuk mendukung percepatan proyek listrik 35.000MW. Apalagi pengembang kecil-kecil banyak pengusaha lokal,” jelasnya.

Ketiga, lanjutnya, terkait jadwal pelaksanaan dirinya meminta PLN bisa bergerak lebih cepat dan efesien. Tidak seperti di KemenPU, hampir setahun saja masih bergelut di administrasi.

“Jadi sebaiknya PLN menterjemahkan Permen 50 itu secara teknis dengan bijaksana jangan malah menyulitkan pengembang kecil. Pasalnya PLN yang paling tahu kondisi di lapangan bahkan pemerintah daerah sangat membutuhkan. Sebagai contoh di kabupaten Sumbawa Besar, Bupati sampai kirim surat ke Menteri ESDM dan PLN dan belum ditanggapi. Padahal pihak pengembang dan investor sudah siap. Harusnya ada skala prioritas,” pungkasnya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Harris mengungkapkan regulasi permen No 50 memang ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Pihaknya menyadari DPT/pengusaha lokal tidak bisa disamakan dengan DPT/pengusaha besar yang memiliki finansial yang kuat.

“Kita menyadari kalau pengembang lokal tidak bisa disamakan dengan pengembang besar yang memiliki finansial kuat. Permen sebelumnya memang disuka banyak kalangan, termasuk bank. Namun begitu diganti dengan Permen baru, Bank mundur karena harus memiliki jaminan,” jelasnya.

Dirinya menyarankan untuk proyek-proyek kecil RUPTLnya diberi slot/kuota agar diperebutkan oleh pengembang lokal seperti di Jatim, Jabar dan Jateng. Sedangkan perwakilan Divisi EBT PLN Iwan mengatakan PLN Pusat sudah ada sistem Skoring untuk DPT. Terkait EBT, PLN tidak melihat soal pengalaman saja, tetapi lebih kepada kekuatan finansial. Skoring disini dalam artian pembobotan/klasifikasi. Sedangkan sistem pelelangan bersifat terbatas. Dari beberapa DPT/pengusaha yang mengajukan, diseleksi terlebih dahulu dan jika lolos peraturan, begitu ada tender bisa ditunjuk.

“PLTS dan PLTB sistem software terpusat karena sifatnya inter-midterm. Konsep DPT/pengusaha yang lolos seleksi di pusat (nasional) berarti bisa masuk ke daerah. Sedangkan yang lokal belum tentu bisa masuk ke nasional. Pembangkit lokal kapasitas 10MW sedangkan di pusat 168MW. Proyek 10MW berlaku tiga tahun setelah itu diseleksi lagi dari awal,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka