Jakarta, Aktual.com – Pemerintah membentuk satuan tugas untuk menangani ribuan pekerja migran Indonesia yang terdampar di Inggris akibat menunggu kepastian bekerja di sektor perkebunan di negara itu, yang menyebabkan para pekerja terlilit utang, kata pejabat Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu).
Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Kemlu Judha Nugraha mengatakan satuan tugas (satgas) yang dibentuk KBRI London itu salah satunya bertanggung jawab mengawal pemulangan para pekerja migran Indonesia pada saat berakhirnya masa kontrak agar tidak terjadi penyalahgunaan aturan.
“Lembaga terkait telah menangani kasus pekerja migran yang bekerja sebagai seasonal worker di beberapa perkebunan Inggris,” ungkap Judha kepada jurnalis di Jakarta, Selasa (27/9).
Media Inggris, Guardian, melaporkan ratusan pekerja pertanian Indonesia direkrut untuk bekerja di pertanian di seluruh Inggris musim panas ini dengan visa pekerja musiman, kebijakan yang dibuat untuk mengatasi kekurangan pekerja pertanian setelah Inggris keluar dari Uni Eropa, atau dikenal dengan Brexit.
Banyak di antaranya menjadi korban perekrutan ilegal dengan iming-iming bekerja di Inggris sebagai pekerja musiman di beberapa perkebunan, ungkap media tersebut, bahkan beberapa orang diharuskan membayar 2.500 poundsterling (Rp40,6 juta) demi menjamin pekerjaan di negara itu. Namun demikian banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan dan telah menganggur selama beberapa bulan.
AG Recruitment, salah satu agen terbesar di Inggris untuk merekrut pekerja dengan visa musiman, merupakan pihak yang merekrut pekerja asal Indonesia yang sudah berada di Inggris, ungkap Guardian.
Sementara dari Indonesia, pekerja berangkat melalui PT Al-Zubara Manpower Indonesia, yang berkantor di Jakarta, tambahnya.
AG Recruitment membantah melakukan kesalahan prosedur dan mengaku tak tahu mengenai calo Indonesia yang meminta biaya lebih ke pekerja.
Judha mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia, dan KBRI di London untuk menindaklanjuti kasus ini guna memastikan perlindungan atas hak-hak pekerja Indonesia yang bekerja di beberapa perusahaan perkebunan di Inggris.
“Kami sudah melakukan pendataan dan menampung aspirasi pekerja migran secara langsung dan meminta AG Recruitment untuk tetap memfasilitasi pekerja Indonesia dan menjamin mereka mendapatkan alternatif pekerjaan dalam koridor kontrak selama menunggu masa kepulangan,” kata Judha.
“KBRI London juga telah melakukan koordinasi dengan otoritas Inggris terkait pemenuhan hak-hak pekerja Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku di Inggris,” ujarnya.
Berdasarkan data Kemlu, sejak 31 Maret tercatat sebanyak 1.308 pekerja asal Indonesia bekerja di sektor perkebunan Inggris.
Iming-iming gaji besar
Gede Suardika Widi Adnyana, pria asal Bali, mengatakan dirinya harus berhutang di bank sebesar Rp70 juta untuk bisa berangkat ke Inggris. “Biaya tersebut disalurkan ke agency dan calo yang menghubungkan ke agency. Mereka bilang dana tersebut untuk tiket pesawat, sidik jari, KTLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri), dan biaya visa,” ujarnya kepada BenarNews melalui pesan tertulis.
Ia berangkat melalui PT Al-Zubara Manpower Indonesia dan di Inggris ia ditempatkan oleh agen penyalur resmi AG Recruitment.
Suardika menjelaskan PT Al-Zubara Manpower tidak memiliki kantor di Bali sehingga pekerjaan bergantung pada calo yang memasok kandidat ke kantor pusat penyalur tenaga kerja itu di Jakarta.
Nasib lebih baik dialami Ozzy Agista Indrawan, 29, asal Jawa Tengah, yang telah bekerja selama lima bulan di perkebunan Clock House, Kent, Inggris, sebagai pemetik buah untuk dipasok ke supermarket-supermarket ternama di Inggris.
“Saya tidak sampai berhutang karena saya menggunakan dana berangkat dari tabungan saya, berbeda dengan teman-teman yang harus berhutang demi kerja di sini,” kata dia kepada Benarnews melalui sambungan telepon.
Ia mengaku tertarik bekerja di luar negeri karena gaji yang besar, karena bisa mendapatkan gaji sekitar 350 hingga 450 poundsterling (Rp5,7 juta – Rp7,3 juta) per minggu.
Pungutan ilegal
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care, Nurharsono, mengatakan pemungutan deposit atau uang jaminan penempatan kerja adalah ilegal jika tidak tercantum di perjanjian kerja antara perusahaan dan pekerja.
“Kami mendengar laporan adanya beban biaya tinggi, yang akhirnya terjerat utang padahal belum ada kepastian job order-nya. Ini mestinya tidak terjadi. Pemerintah harusnya jeli,” paparnya.
Nurharsono mengatakan kejadian tersebut membuktikan lemahnya pengawasan dalam penempatan pekerja migran dan diplomasi Indonesia.
“Pekerjaannya pun harus dilegalisasi oleh pihak kedutaan dan pemerintah. Pemerintah Indonesia harus ada perjanjian kerja sama antar negara, apakah sudah sesuai prosedur atau belum,” ujarnya.
“Jika belum, bisa dikatakan pemerintah melegalkan prosedur yang ilegal. Penempatan yang ilegal. Harus ada sanksi!”
Bantah lakukan pungutan liar
Dalam keterangan tertulisnya akhir Agustus lalu, Direktur Al Zubara Manpower Indonesia, Yulia Guyeni, membantah pihaknya telah melakukan pungutan liar kepada para pekerja itu.
“Dana yang kami minta hanya sebesar Rp 45 juta,” kata Yulia dalam rilis.
Dia menegaskan penempatan PMI yang dilakukan oleh PT Al Zubara Manpower Indonesia merupakan kerja sama private to private dengan AG Recruitment & Manajemen Ltd yang telah memiliki lisensi kantor dalam negeri dan Gangmaster dan otoritas penyalahgunaan tenaga kerja (GLAA) sebagai agensi otoritas/lisensi penempatan pekerja migran di wilayah hukum Inggris.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Perlindungan pekerja migran Indonesia Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Ridho Amrullah, mengatakan pihaknya sudah memanggil PT Al Zubara untuk meminta keterangan.
“Sedang kami dalami, menurut pengakuan mereka, jumlah yang diterima PT Al Zubara hanya Rp 45 juta sesuai dengan perjanjian penempatan,” ujarnya kepada BenarNews.
Dia mengakui adanya pekerja yang membayar lebih sampai Rp70 juta, namun menurutnya, pekerja tersebut meminjam untuk keperluan pribadi mereka.
“Mereka meminjam ada yang di koperasi Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di daerah atau dari sumber lainnya seperti bank, ada juga yang berhutang di PT AL Zubara dengan syarat potong gaji, sedang kita dalami dan meminta buktinya,” kata dia.
Dengan ini, ujar dia, pihaknya akan memperketat aturan penempatan dan memantau pekerja jika kontrak sudah habis. “Jangan sampai mereka overstay.”
Ridho merinci jumlah permintaan pekerja Indonesia di sektor perkebunan musiman dari Inggris sebesar 2000 pekerja. Sementara Al Zubara sudah merekrut sebanyak sekitar 1500 pekerja Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 1300 sudah diberangkatkan ke Inggris.
“Kami sudah minta PT Al Zubara tidak merekrut lagi karena masa panen juga sudah lewat,” pungkasnya.
BenarNews.org