Aktual.com, Jakarta – Rangkap Jabatan 34 Wakil Menteri di tengah badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan janji 19 juta lapangan kerja dinilai sebagai political farm (ternak politik) oleh Pengamat politik Amin Tohari.
“Politik klien, atau klientelisme, cara berpikir mengelola Indonesia berdasar patron klien. Ini terjadi sampai di daerah, desa, bahkan kampus pun diurus seperti itu,” kata Amin kepada Aktual.com.
Amin menambahkan, political farm dengan menunjuk para Wamen sebagai Komisaris BUMN tanpa kompetensi, dan hanya mengacu pada jejaring politik pemenang Pemilu merupakan jurus warisan rezim sebelumnya. Jurus disiapkan agar kekuasaan berjalan satu komando, dan langgeng hingga Pemilu kedepan.
“Kalau tidak diatur begitu, gerbong politik mereka tidak bisa kontinu. Jadi urusannya membangun gerbong. Political farm-nya, ya salah satunya bagaimana memastikan gerbong atau jejaring politik mereka berada di semua lini pemerintahan,” paparnya.
Baca Juga:
Wamen Rangkap Jabatan, Rakyat Dianak Tirikan
Secara terpisah Direktur Eksekutif Citra Institutem,Yusak Farchan, mengungkapkan praktik politik balas jasa ini bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Dimana BUMN dan anak perusahaannya sering dijadikan ‘lahan empuk’ untuk berbagi kekuasaan.
“Sering mengabaikan kompetensi dan kapasitas yang bersangkutan. Celakanya lagi, proses itu tidak disertai reward dan punishment yang jelas. Akhirnya rasa kepemilikan para komisaris atau direksi terhadap perusahaan milik negara itu rendah,” jelasnya.
Sehingga dari sisi itu Agus menilai, sehingga dengan cara cara vulgar dan mengabaikan kompetensi para Wamen sebagai komisaris BUMN menjadi tidak masalah.
“Yang penting teman mereka, loyal kepada mereka, mendukung waktu Pilpres, walaupun orang yang mereka tempatkan tidak berkompeten,” jelasnya.
Baca Juga:
Wamen Duduk di Dua Kursi, Konstitusi Diparkir di Laci
Oleh karena itu, menurut Kepala Sekolah Riset Satu Kata Yogyakarta ini Wamen yang rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN jalur politik tanpa kompetensi tak akan peduli akan kinerja kementerian, atau bekerja optimal meningkatkan keuntungan BUMN.
“Tidak penting BUMN-nya profit, untung, terkelola baik, tidak penting. Kementeriannya berjalan, tidak penting, yang penting teman mereka semua kebagian, kalau tidak maka mengancam keutuhan gerbong mereka,” jelasnya.
Disisi lain Dekan FISIP Universitas Pamulang, Yusak Farchan, menyoroti paradoks yang mencolok antara tingginya angka pengangguran dengan mudahnya elit kekuasaan seperti Wamen menempati jabatan strategis di BUMN.
“Di tengah lesunya penyerapan tenaga kerja, para pemburu kekuasaan itu dengan mudah masuk ke ranah kekuasaan tanpa melalui proses seleksi terbuka,” katanya.
Banyak Jalan Duduki Kursi BUMN, Ujungnya Kawan Politik
Apakah para Wamen mempunyai kapasitas menduduki kursi Komisaris BUMN? sebuah pertanyaan yang banyak muncul dari masyarakat. Selain itu masyarakat pun banyak bertanya sejauh mana transparansi dari seleksi Wamen hingga menjadi komisaris BUMN.
Amir sendiri mengakui semua skema Wamen menjadi komisaris BUMN sangat sarat kepentingan politik, dan sudah disipakan secara sistematis. Toh bila dilakukan seleksi terbuka pun di BUMN untuk posisi komisaris maupun direksi, politik klien untuk mengembangbiakkan jejaring politiknya tetap akan terjadi.
“Secanggih-canggihnya ada seleksi, tetap keputusannya kan keputusan politik. Yang dilihat dari mana dia berasal? Indonesia Barat atau Timur, Muhammadiyah atau NU? atau dari partai mana? Kan begitu akhirnya. Lalu apa gunanya seleksi?” ucapnya.
Amin menjelaskan, memang terkesan proses seleksi dilakukan terbuka, dan transparan, walaupun ujungnya yang menentukan adalah proses di belakang meja. Dan skema politik ini tidak hanya di pemilihan direksi maupun Komisaris BUMN.
“Mau apapun posisi di pemerintahan, mau KPK, Komnas HAM, KPU, Bawaslu, semua lini pemerintahan itu yang penting teman,” jelasnya.
Baca Juga:
Urgensi 30 Wamen Rangkap Jabatan Dipertanyakan
Dekan FISIP Universitas Pamulang, Yusak Farchan mengingatkan, jika ada kepentingan politik balas jasa dalam rangkap jabatan tidak memungkinkan dalam regulasi yang ada, sebaiknya dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
“Presiden Prabowo mungkin berniat memberi reward yang seimbang, tapi kalau regulasinya tidak memungkinkan, ya itu harus diuji secara hukum,” Yusak memungkasi.
Rangkap jabatan dan Politik Balas Budi
Isu rangkap jabatan wakil menteri (Wamen) di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi sorotan tajam publik. Sejumlah Wamen diketahui merangkap jabatan sebagai komisaris di beberapa BUMN, yang dinilai mengaburkan batas antara tanggung jawab negara, profesionalitas dan kepentingan politik kekuasaan.
Menurut Direktur Eksekutif Citra Institute Yusak Farchan, praktik ini bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia.
“Itu khas dari presiden sebelumnya, karena ada konsensus politik yang tak tertulis seperti itu. Dari dulu, dampak dari politik akomodatif presiden terpilih adalah mengakomodasi para timsesnya ke dalam jangkar-jangkar kekuasaan yang ada,” kata Yusak kepada Aktual.com.
Baca Juga:
Jabatan Ganda Wamen Disorot, MK Keluarkan Putusan Final
Hal senada disampaikan Kepala Sekolah Riset Satu Kata Yogyakarta Amin Tohari. Amin memastikan fenomena rangkap jabatan para Wamen saat ini bukanlah hal yang baru. Praktik ini sudah dilakukan oleh Presiden dan partai pendukungnya sejak beberapa dekade kebelakang.
“Apa yang terjadi di Gerindra mirip Demokrat di 2004 dan 2009. Punya pengalaman berkuasa baru pertama kali. Cara mengelola Indonesia sebetulnya sama dengan SBY, yang terpenting semua kebagian, soal pekerjaannya selesai atau tidak yang penting kebagian. Seribu Kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak,” papar Amin.
Selain, Yusak yang juga Dekan FISIP Universitas Pamulang menilai, fenomena rangkap jabatan merupakan konsekuensi dari gemuk nya struktur kabinet Prabowo saat ini. Dan keinginan Prabowo mengakomodir semua kepentingan politik pendukungnya saat kampanye.
“Jumlah kementerian pada Presiden sebelumnya dibatasi 34 sesuai UU. Prabowo naik jumlah, berubah, bahkan tidak dibatasi. Akhirnya satu kementerian bisa diisi lebih dari satu wamen. Jadi bengkak,” ungkapnya.
Baca Juga:
Right Man in the Wrong Place: Panggung Sandiwara Meritikrasi di Kursi Komisaris BUMN
Dengan kondisi itu BUMN akan menjadi sapi perah politik balas budi, dan sudah sejak lama BUMN beserta anak perusahaannya acap kali dijadikan ‘lahan empuk’ untuk berbagi kekuasaan.
“Sering mengabaikan kompetensi dan kapasitas yang bersangkutan. Celakanya lagi, proses itu tidak disertai reward dan punishment yang jelas. Akhirnya rasa kepemilikan para komisaris atau direksi terhadap perusahaan milik negara itu rendah,” jelasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















