KEEMPAT, yang juga harus dibandingkan antara Indonesia dan Jepang adalah NIIP ( Net Internasional Investment Position )  yaitu artinya net aset internasional yang dimliki suatu bangsa dikurangi dengan aset bangsa asing didalam negeri . Jadi kalau NIIP positif berarti bangsa itu punya aset diluar negeri . Tetapi kalau NIIP nya negatif berarti bangsa itu punya utang (liability ) diluar negeri . Jepang menurut data dari IMF  mempunyai NIIP positif USD  3,067 Trilyun artinya Jepang adalah negara kreditor atau pemberi utang ( investasi ) didunia internasional . Sedangkan Indonesia mempunyai NIIP minus USD 413 Milyar . Jadi Indonesia adalah negara yang berutang (liability) sebesar angka tersebut ke dunia internasional . Jadi membandingkan Indonesia dengan Jepang hanya menampilkan besar utang terhadap PDB ( Indonesia 29,2% PDB dn Jepang 239%PDB )  seperti yang sering dikemukakan oleh Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran pejabat Kemenkeu adalah manipulatif dan sungguh tidak fair . Bahkan menunjukkan bahwa mereka menutup-nutupi kondisi yang sebenarnya demi mencapai popularitas.

Selain 4 hal diatas dalam kaitannya dengan utang pemerintah yang didapatkan dari penerbitkan bond (obligasi) adalah tingkat bunga kuponnya yang sangat tinggi. Bahkan bila dibandingkan dengan Vietnam yang hanya mempunyai rating utang dari S&P BB- ( Indonesia BBB-) yang artinya rating utang Vietnam berada di 3 tingkat dibawah Indonesia dan  Vietnam masih belum termasuk layak investasi ( investment grade ) dan masih termasuk di level yang spekulatif atau beresiko lebih tinggi, bunga utang bond Indonesia sangat tinggi. Dalam dunia keuangan internasional, bila rating utangnya lebih tinggi maka bunga bond nya harus lebih rendah. Bila Indonesia dibandingkan dengan Vietnam malah kebalikannya . Rating utang Indonesia lebih tinggi 3 tingkat dari Vietnam tetapi bunga bond nya malah lebih tinggi dari Vietnam.

Bunga utang bond 10 tahun Indonesia mencapai 7% pertahun sedangkan untuk Vietnam hanya 4,56% pertahun. Jadi seandainya bunga bond Indonesia disamakan saja dengan Vietnam ( seharusnya bunga bond Indonesia lebih rendah dari Vietnam ) maka ada kelebihan bayar nunga kuponnya sebesar 7% – 4,56% = 2,44% pertahun. Artinya kita kelebihan bayar bunga kupon bond sebesar 2,44% pertahun. Bila diasumsikan semua bond ber tenor 10 tahun dan jumlah bond Indonesia adalah 29,2% PDB dan besar PDB Indonesia adalah USD 1000 Milyar maka kelebihan bayar bunga kuponnya adalah 2,44% x 29,2% x USD 1000 Milyar = USD 7,125 Milyar pertahun atau USD 71,25 Milyar atau sama dengan Rp 997,5 Trilyun dalam 10 tahun. Ini adalah kelebihan bayar bunga kupon bind kita dala 10 tahun yang luar biasa.

Itu adalah kerugian negara yang sangat besar bagi negara kita . Sebagai gambaran , pembuatan jalan di Papua sepanjang 4325 km ” hanya ” menelan biaya Rp 15,05 Trilyun. Jadi bila 997,5 Trilyun itu digunakan untik membuat jalan di Papua bisa menjadi 286.000 km. Apabila dibuat pelabuhan besar bisa puluhan plus ratusan pelabuhan kecil. Bila dibuat sekolahan bisa jadi puluhan ribu, bila dijadikan Puskesmas yang bagus dan sangat bermanfaat bagi rakyat bisa jadi puluhan ribu dst . Semua hal itu jelas menambah pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi dan bisa menciptakan lapangan kerja bagi ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja.

Kerugian negara yang sedemikian besar itu bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena terjadi inefisiensi kerja yang luar biasa di Kementerian Keuangan. Dibawah Menkeu Sri Mulyani Indrawati , mereka bekerja santai dan tidak cerdas dan jauh sekali dibawah efisiensi dan kerja keras Kementerian Keuangan dan Menkeu Vietnam yang sangat cerdas atau yang kedua, ada permainan pat gulipat dalam menentukan bunga kupon bond yang sangat tinggi di Kemenkeu RI yang dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati .

Untuk itu Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) harus memeriksa Menkeu Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran pejabat Kemenkeu yang terkait dengan penerbitan bond ( obligasi ) , KPK bisa dengan mudah mengundang para ahli ekonomii dan bond untuk dimintai keterangannya sebagai ahli. Presiden Jokowi pun sangat diharapkan tidak berpangku tangan terhadap penanganan kasus ini .

Penulis : Abdulrachim Kresno (Analis Kebijakan Publik, Mantan Tenaga Ahli Kemenko Kemaritiman)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta