Karena itu, tindakan Urip sangat disayangkan. Sebelum memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi, lanjut dia, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipertimbangkan. Ketika seorang terpidana akan memperoleh remisi, biasanya Kepala Lapas akan menyampaikannya kepada KPK terkait apakah terpidana tersebut menjadi justice collabolator atau tidak.
Dari laporan tersebut, kata dia, KPK kemudian akan memberikan rekomendasinya. “Nanti KPK akan memberikan rekomendasi bahwa yang bersangkutan kita tolak, permohonan jc-nya. Hal-hal seperti itu biasanya menjadi pertimbangan bagi pihak kalapas atau dirjen pemasyarakatan untuk memberikan remisi, biasanya mekanismenya seperti itu.
Alexander pun mengaku belum pernah menerima surat laporan dari Kepala Lapas atau dirjen pemasyarakatan terkait kelayakan remisi dan juga status pembebasan bersyarat atas terpidana tersebut. “Saya nggak tahu, pembebasan jaksa Urip itu rasa-rasanya, selama saya jadi Pimpinan KPK, tidak pernah menerima semacam surat dari Kalapas-nya, atau dirjen pemasyarakatannya terkait layak nggak sih, orang ini diberi pembebasan bersyarat, atau diberi remisi, kami belum pernah menerima.”
Alexander mengklaim, menurut dirjen pemasyarakatan pemberian status pembebasan bersyarat ini sudah sesuai prosedur dan tidak harus berkonsultasi dengan KPK. Karena itu, Alexander menilai perlu dilakukan penyamaan persepsi terkait penanganan terhadap terpidana kasus korupsi.
“Karena kalau berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 2012 atau berapa, ada pembatasan, terkait ketika ada korupsi itu ada perlakuan khusus, harus misalnya, yang bersangkutan harus menjadi justice collabolator untuk dapat remisi atau untuk mendapatkan hak untuk pembebasan bersyarat. Mungkin itu nanti yang perlu kita samakan persepsinya.” [Ant]
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Wisnu
















