Jakarta, aktual.com – Pemilu yang terjadi di Malaysia terus mendapat perhatian warga dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pasalnya, setelah 15 tahun berada di luar pemerintahan, justru membuat Mahathir Mohamad terpilih sebagai perdana menteri tertua di negeri Jiran tersebut .
Nama Mahathir Mohamad tidak terlepas dari kenangan menyelamatkan Malaysia dari krisis ekonomi Asia 1997-1998, yang ketika itu tidak mengundang IMF, ketika Indonesia dan Thailand melakukannya .
Hal itu disampaikan Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu (13/5).
“Sebelum terjadinya Krisis, Malaysia, di bawah kepemimpinan Mahathir mengalami masa keemasan karena berhasil memacu pertumbuhan ekonomi Negeri Jiran tersebut di atas rata-rata 9,5% selama sembilan tahun (1988-1996),” kata Gede Sandra.
Bahkan, sambung dia, di Tahun 1996 Malaysia malah bertumbuh double digit di level 10%. Malaysia sebelumnya juga pernah mendapatkan pertumbuhan double digit pada tahun 1973 (11,7%) dan 1976 (11,6%).
Wajar makanya, ujar dia, tingkat pendapatan perkapita di Malaysia kini sudah USD 9.800, dua setengah kali lipat Indonesia, yang tingkat pendapatan perkapitanya kini USD 3.800.
“Malaysia juga sebentar lagi pada 2020 telah masuk kelas negara maju, yang standarnya ditetapkan OECD dari pendapatan perkapita di atas USD 10.000. Sementara Indonesia diperkirakan OECD baru pada tahun 2042 mencapai standarini!,” Paparnya.
Masih ungkapkan dia, Malaysia pun mengambil jalan berbeda di luar resep IMF untuk keluar dari krisis. Pada September 1998, otoritas Malaysia melakukan kebijakan kontrol modal (capital control), menetapkan nilai tukar ringgit terhadap dollar (RM3,8/USD), dan memotong suku bunga.
Kebijakan kontrol modal ini mewajibkan untuk seluruh investor agar merepatriasi asset ringgit kembali ke Malaysia; menutup pasar mata uang dan aset dalam ringgit di luar negeri (Singapura, Hongkong, dan lain-lain).
Tidak hanya itu, seluruh penduduk dilarang menerima atau memberikan kredit dalam ringgit; dan otoritas mengendalikan secara ketat arus keluar portofolio dari penjualan sekuritas Malaysia.
“Melakukan kebijakan anti pasar bebas, Malaysia pun dikritik habis-habisan di dunia keuangan internasional. Yang perlu digarisbawahi, tidak ada satupun bank yang ditutup di Malaysia, sehingga negara tidak perlu melakukan bailout,” ucapnya.
Hasilnya pertumbuhan ekonomi Malaysia pada 1998 memang sempat jatuh, kontraksi, ke level -7,3% (tidak separah Indonesia yang kontraksi hingga -13,1% dan Thailand yang kontraksi hingga -7,7%).
Namun tahun berikutnya, 1999, perekonomian Malaysia berhasil membaik dengan cepat hingga dapat bertumbuh ke level 6,8%. Dan bahkan pada tahun 2000 ekonomi Malaysia telah bertumbuh 8,9%, hampir pulih seperti masa sebelum krisis.
“Model penyelesaian krisis ala Malaysia justru telah berhasil membuka mata dunia, bahwa ada jalan lain penyelamatan krisis selain mengikuti resep IMF,” sebut dia.
Berbeda dengan gaya yang dilakukan Malaysia dalam melakukan manuver terhadap ekonominya. Indonesia dan Thailand justru terjebak dalam skema yang ditawarkan IMF ketika itu.
Padahal, sebelum terjadinya krisis, perekonomian Thailand sempat tumbuh double dijit selama tiga tahun sejak 1988 hingga 1991 (berturut-turut: 13,2%, 21,1%, dan 11,2%), kemudian dilanjutkan bertumbuh di atas 8% selama enam tahun sejak 1992 hingga 1996.
Sedangkan, Indonesia sendiri, sambung dia, sebelum terjadinya krisis, “hanya” merasakan pertumbuhan rata-rata 7% selama sembilan tahun (1988-1996), yang sering disebut banyak pihak sebagai era terbaik dalam sejarah ekonomi Indonesia: Era Tinggal Landas.
“Data Bank Dunia, Indonesia hanya pernah merasakan sekali pertumbuhan double digit pada tahun 1968, sebesar 10%. Saat krisis terjadi di 1997, perekonomian Thailand berkontraksi ke -2,7%, sementara perekonomian Indonesia anjlok sedikit ke4,7%,”ungkapnya.
Hingga kemudian datang IMF, dengan resep yang sama kepada kedua negara tersebut. Pemberlakukan kurs mengambang, pengetatan moneter (menaikkan suku bunga bank), dan austerity fiskal, serta penerapan sejumlah Letter of Intent (LoI) yang isinya adalah rumus-rumus neoliberal seperti liberalisasi dan privatisasi.
“Nilai ini belum ditambah dengan beban pinjaman IMF (yang tidak boleh digunakan, karena hanya untuk perkuat posisi neraca pembayaran) bagi kedua negara.”
“Hasilnya, di akhir 1998 perekonomian Thailand semakin berkontraksi ke -7,7% (lebih buruk dari Malaysia) dan perekonomian Indonesia hancur ke -13,1% (terburuk di antara seluruh negara yang menderita krisis),” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang