Jakarta, Aktual.com — Bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto dijadwalkan menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bekas anak buah Gamawan Fauzi itu akan diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik di Kemendagri pada 2011-2012. “Iya benar, S diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka,” kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, di kantornya, Kamis (18/2).
Belum diketahui maksud pemeriksaan kepada Sugiarto. Entah berkas penyidikannya sudah rampung, pihak KPK belum bersedia berkomentar.
Dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP, KPK baru menetapkan Sugiarto sebagai tersangka. Sudah hampir dua tahun KPK menyidik korupsi pengadaan e-KTP, namun hingga kini belum juga masuk ke tahap penuntutan.
Pada proyek e-KTP ini, Sugiarto bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dia memang bertanggung jawab penuh atas kelancaran dan keberhasilan proyek yang bernilai anggaran sebesar Rp 6 triliun itu.
Dalam proyek ini, Sugiarto bisa dikatakan sebagai tangan kedua dari Gamawan Fauzi, selaku Mendagri.
Dugaan korupsi yang dilakukan Sugiarto ditaksir mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar. Dari jumlah total pagu anggaran Rp 6 triliun, hasil hitungan KPK terkait kerugian negara proyek ini adalah sekitar Rp 1,12 triliun.
Proyek e-KTP dijalankan oleh beberapa perusahaan baik itu BUMN maupun swasta. Berbagai perusahaan tersebut tergabung dalam konsorsium PT PNRI.
Pembagian tugas dalam proyek ini adalah PT PNRI mencetak blangko e-KTP dan personalisasi, PT Sucofindo (persero) melaksanakan tugas dan bimbingan teknis dan pendampingan teknis, PT LEN Industri mengadakan perangkat keras AFIS, PT Quadra Solution bertugas mengadakan perangkat keras dan lunak serta PT Sandipala Arthaputra (SAP) mencetak blanko E-KTP dan personalisasi dari PNRI.
Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dilakukan pada semester I 2012, pelaksanaan tender e-KTP disimpulkan melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut menurut BPK berimbas kepada penghematan keuangan negara.
Dalam auditnya, BPK menemukan ketidakefektifan pemakaian anggaran sebanyak 16 kasus dengan nilai Rp 6,03 miliar, tiga kasus Rp 605,84 juta. Selain itu BPK juga menemukan pelanggaran dalam proses pengadaan proyek e-KTP yang mengakibatkan indikasi kerugian negara.
Terdapat lima kasus yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp 36,41 miliar, potensi kerugian negara sebanyak tiga kasus senilai Rp 28,90 miliar.
Menurut hasil audit BPK juga disimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak.
Hal tersebut terjadi karena Konsorsium PNRI tidak berupaya memenuhi jumlah penerbitan e-KTP 2011 sesuai dengan kontrak.
Dalam audit BPK disebutkan bahwa terdapat persekongkolan yang dilakukan antara Kosorsium PT PNRI dengan Panitia Pengadaan. “Kongkalikong” itu terjadi saat proses pelelangan, yakni penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Menurut BPK, penyusunan dan penetapan HPS bukan berdasarkan data harga pasar setempat yang diperoleh dari survei menjelang dilaksanakannya lelang. Pemilihan dan penetapan untuk beberapa peralatan menggunakan harga uang ditawarkan oleh Konsorsium PT PNRI yang memenangkan pelelangan.
Padahal, proyek pengadaan e-KTP ini membutuhkan anggaran negara sebesar Rp 5,8 triliun, dengan rincian untuk 2011 dananya sebesar Rp 2,26 triliun dan 2012 alokasi anggaraanya senilai Rp 3,5 triliun.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu