Jakarta, Aktual.com — Laju nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pagi ini dibuka di zona pelemahan. Semnpat bertahan di level Rp13.900-an, mata uang Garuda kembali berkubang di level Rp14.000-an.
Berdasarkan data Bloomberg Dollar Index, Senin (31/8), rupiah dibuka melemah 10 poin atau 0,07% ke Rp13.993 per dolar AS. Namun satu jam kemudian saat pembukaan perdagangan bursa saham, rupiah anjlok 50 poin ke level Rp14.033 per dolar AS.
Sementara itu, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan pagi ini bergerak datar. Indeks naik tipis 0,802 poin (0,02%) ke level 4.447,003 pada perdagangan preopening. Sedangkan Indeks LQ45 menguat tipis 0,205 poin (0,03%) ke level 757,274.
Memulai perdagangan, Senin (31/8), IHSG dibuka terpangkas 0,634 poin (0,01%) ke level 4.445,567. Indeks LQ45 berkurang 0,361 poin (0,05%) ke level 756,661. Hingga pukul 9.05 waktu JATS, IHSG bertambah 6,686 poin (0,15%) ke level 4.452,887. Sementara Indeks LQ45 tumbuh 1,156 poin (0,15%) ke level 758,225.
Pergerakan laju rupiah hingga IHSG yang memerah hari ini dipicu sinyal kenaikan Fed Rate yang disampaikan oleh Wakil pimpinan The Federal Reserve/bank sentral Amerika Serikat (AS) Stanley Fischer
Fischer mengatakan, kalau pihaknya tidak akan menunggu inflasi mencapai 2 persen sebelum menaikkan suku bunga. Ia menyampaikan hal itu dalam sebuah pidato di konfrensi kebijakan moneter di Jackson Hole, Wyoming, seperti dikutip dari laman Channelnewsasia, ditulis Senin (31/8).
“Kami tidak harus menunggu hingga inflasi kembali ke dua persen untuk memulai pengetatan. Bagaimana pun The Fed perlu mempertimbangkan keadaan keseluruhan ekonomi Amerika Serikat (AS), serta pengaruh ekonomi global untuk mencapai penilaian tentang apakah dan bagaimana mengubah kebijakan moneter,” ujar Fischer.
Ia mengatakan, saat ini inflasi berada di jalur untuk mencapai dua persen. The Fed menganggap itu sebagai tanda ekonomi sehat meski ada perubahan dalam indeks pengeluaran konsumsi pribadi. Hal itu lantaran faktor sementara dari penurunan harga minyak.
Menurut indeks PCE, harga konsumen hanya naik 0,3 persen pada tahun lalu dipicu dari harga minyak rendah, tetapi juga berkurangnya permintaan di China dan negara lain. Prediksi The Fed menempatkan inflasi inti tidak termasuk harga minyak dan pangan di kisaran 1,6-1,9 persen pada tahun depan, naik 1,2 persen pada Juli.
Ada pun sejumlah faktor membuat inflasi rendah, Fischer menyebutkan kalau ada kenaikan dolar AS sejak musim panas lalu sehingga menurunkan harga impor. “Hal itu masuk akal mengingat kenaikan dolar AS selama tahun lalu akan menahan pertumbuhan produk domestik bruto riil hingga 2016, dan bahkan hingga 2017,” kata Fischer.
Ia menuturkan, dampak situasi ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi AS termasuk China memang menjadi pertimbangan The Federal Reserve. “Pada saat ini kami mengikuti perkembangan ekonomi China, dan efek aktualnya, dan dampak potensi ekonomi mereka ke lainnya menjadi lebih erat,” ujar Fischer.
The Fed Open Market Committee (FOMC) akan kembali digelar pada 16 dan 17 September 2015. Sebagian besar ekonomi percaya kalau bank sentral AS akan mulai menaikkan suku bunga yang sudah berada di level terendah sejak 2008. Namun, gejolak di pasar keuangan pada beberapa pekan terakhir di tengah melambatnya ekonomi China menimbulkan keraguan tentang waktu kapan kenaikan suku bunga AS itu.
Artikel ini ditulis oleh: