Muhammad Sutisna (Pemerhati Sosial Politik/Co Founder Forum Intelektual Muda)

Jakarta, Aktual.com – Pemilu 2024 sekitar 2 tahun lagi. Hingar bingar kontestasi 5 tahunan sekali tersebut mulai terasa sejak beberapa partai deklarasi calon presiden mereka.

Disamping deklarasi, topik utama terkait Pilpres adalah salah satu isu utama dipelbagai lapisan masyarakat, entah sekedar mencocokkan siapa yang akan menggantikan presiden saat nanti, sampai kepada harapan di masa depan, ini wajar, normal.

Terbaru, Partai NasDem resmi mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden, diikuti oleh satatement salah satu fungsionaris DPP Partai NasDem bahwa Anies adalah antitesis dari Jokowi. Sontak, jagad media dipublik terpolarisasi sebagai pemantik diskursus dan versus ditengah masyarakat, juga sebagai the new of political noice menjelang tahun 2024.

Di mana semua kalangan membicarakannya, mulai dari langkah yang terburu buru dari Partai NasDem, selain itu tidak pas momentumnya karena bertepatan dengan tragedi Kanjuruhan, hingga Partai NasDem pandai mengambil momentum karena melihat sosok Anies Baswedan sebagai salah satu capres potensial.

Namun dari sekian “noise”, ada pernyataan menarik dari salah satu petinggi NasDem yang merujuk pada teorinya dialektika Hegel, menyebutkan bahwa Anies Baswedan adalah antitesisnya Jokowi.

Tentu pernyataan ini menimbulkan polemik, dan semakin memperuncing terjadinya polarisasi politik. Apalagi Partai NasDem yang merupakan bagian dari pemerintahan, rasanya kurang elok menempatkan Anies sebagai antitesis Jokowi.

Sejarah Indonesia diwarnai oleh ragam skema antithesis, sebut saja pada Era Reformasi 1998 adalah gerakan antithesa dari otoriterian pemerintahan Orde Baru ala Presiden Soeharto.

Demikian juga  peristiwa besar tahun 1966, Pancasila sebagai antitesis dari thesa ideologi Komunis pada waktu tersebut.

Apa itu antitesis? Antitesis adalah pertentangan yang benar-benar, ungkapan gagasan yg bertentangan, contoh tesis kata ‘hidup’, maka antitesisnya adalah ‘mati’. (KKBI)

Sejarah pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari periode ke periode hampir bisa dikatakan semuanya berangkat dari teori antitesis, untuk menggantikan presiden sebelumnya, maka calon presiden yg akan datang harus berbeda, atau memiliki perbedaan, tujuannya mungkin agar sebuah kepemimpinan ada warna yang variatif.

Bisa jadi, antitesis tentang kepemimpinan dimulai sejak pemilihan presiden diselenggarakan secara langsung.

Megawati digantikan oleh SBY, karna dianggap Mega tidak tegas, instabilitas keamanan nasional dan mungkin juga karena dari representasi perempuan. Antitesis Megawati, mesti sosok yang tegas, bisa menjamin keamanan nasional, dari kaum laki-laki, militer, satu lagi mesti ganteng, SBY-lah antitesisnya.

Selama 10 tahun memimpin, SBY dianggap terlalu formal-flamboyan, meski mampu menjaga stabilitas keamanan dalam negeri, dianggap lemah dalam diplomasi international, perubahan dalam negeripun tidak terjadi secara signifikan, di antara program yg mampu kita ingat dengan baik sampai hari ini adalah konversi dari minyak tanah ke tabung gas 3 kg. Di zaman SBY, ada juga skandal kasus Mega Century 6,7 T dan proyek Hambalang.

Tahun 2014 Indonesia membutuhkan pemimpin yg ‘bisa kerja’ membawa perubahan besar bagi Indonesia, tidak terlalu formal dalam memimpin, pemimpin yang lahir dari rahim rakyat, sederhana, tidak berasal dari golongan konglomerat, bukan anak presiden, ataupun militer, maka Jokowi adalah antitesis dari SBY.

Lalu Bagaimana dengan 2024? sSelama 7 tahun kepemimpinan Jokowi, terlihat secara objektif tentang pencapaiannya dalam menjalankan roda pemerintahan. Program pembangunan infrastruktus berjalan massif, aset aset penting milik RI direbut kembali, ekonomi stabil, dan yang paling penting Jokowi punya nusantara sentris, pemerataan pembangunan yang didasari pada bahwa seluruh daerah di nusantara harus benar benar merata, ini yang sedikit berbeda dengan pendahulunya yang ‘Jawa Sentris’ dalam membangun negeri.

Meski demikian Jokowi punya kekurangan, tapi rasanya sulit menjadi tolak ukur untuk menggerakkan konsep antithesa Jokowi.
Jika Jokowi dianggap mampu dan gemilang memimpin, kenapa kita tidak cari saja legacy yang punya kemampuan kerja seperti beliau, entah dari partai atau dari golongan apapun, tidak soal, – asal jelas mampu bekerja, dan punya pandangan ‘Nusantara Sentris’ seperti beliau.

Jadi NasDem, tidak mesti ikuti sejarah atau skema antithesis diatas, toh juga Nasdem adalah partai lokomotif yang membackup Jokowi habis-habisan di 2014 dan 2019, apalagi sampai memaksakan diri untuk mengulang teori antitesis di atas.

Belum lagi ini zamannya kolaborasi, hal-hal yg baik dan istimewa dari Pak Jokowi, bisa kita ambil bersama sama, tidak usah berhadap-hadapan, apalagi dipertentang tentangkan. Selain itu Itu dalam era keterbukaan sekarang masyarakat kita juga semakin cerdas dan melek politik.

Rakyat bebas menilai. Mana yang harus dijadikan pijakan. Baik kandidat yang kolaboratif meneruskan legacy Jokowi atau kandidat  yang menjaga jarak dengan Jokowi, dan menjadi antitesisnya.

Nyatanya Biden yang dianggap sebagai antitesis Trump. Hari ini belum bisa berbicara banyak dalam pemerintahannya, dan masih terjebak pada  isu komunal, bahkan Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang terancam masuk ke dalam jurang resesi.

Muhammad Sutisna (Pemerhati Sosial Politik/Co Founder Forum Intelektual Muda)

Artikel ini ditulis oleh:

Nurman Abdul Rahman