Dengan segala perkembangan awal yang menjanjikan itu, bisa dipahami jika banyak kalangan yang menilai bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia sudah berada di jalan yang benar, bahkan ada yang menyebutnya telah menjadi the only game in town, dengan memosisikan Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Meskipun terdapat sejumlah capaian positif, kita harus tetap waspada bahwa semua perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi dan kemajuan bangsa. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi menjanjikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: yakni, pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Dalam kerangka pencapaian demokrasi yang lebih substantif, berbagai capaian prosedural itu bisa dipertanyakan, setidaknya dengan menggunakan perspektif Thomas Carothers, wakil presiden Carnegie Endowment for International Peace, Washington, Amerika Serikat. Carothers menggambarkan bahwa sejumlah negara yang awalnya tampak menuju konsolidasi demokrasi kini justru berbalik arah menuju cengkraman otoritarianisme baru atau setidaknya memasuki politik zona abu-abu (gray zone).
Menurut Carothers, di satu sisi, negara-negara tersebut memiliki ciri kehidupan politik yang demokratis, seperti adanya ruang politik, meski terbatas, untuk partai-partai politik oposisi dan masyarakat sipil yang otonom, serta Pemilu yang teratur dan konstitusi yang demokratis. Bersamaan dengan itu, mereka juga mengalami defisit demokrasi yang parah dengan karakternya antara lain adanya representasi politik yang buruk, rendahnya partisipasi politik di luar memilih dalam Pemilu, banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat negara, Pemilu dengan ketidakpastian legitimasi, semakin rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap aparat dan institusi negara, dan rendahnya kinerja lembaga-lembaga negara.
Pertanyaan pun muncul, apakah Indonesia juga masuk dalam kategori politik zona abu-abu seperti yang digambarkan Carothers? Pertanyaan tersebut penting diajukan karena setelah belasan tahun reformasi bergulir, perkembangan demokrasi sebagai prosedur mengalami perubahan cepat dan massif, tapi demokrasi sebagai substansi seakan jalan ditempat.
Usaha mewujudkan substansi demokrasi, pada kenyataannya terkendala oleh hambatan-hambatan kultural, institusional dan stuktural. Pada tingkat kultural, selama era reformasi, politik sebagai teknik mengalami kemajuan; tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras–prosedur demokasinya terlihat relatif lebih demokratis; namun perangkat lunak–budaya demokrasiya masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritoktasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang saja).
Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan pada kekuatan alokatif (sumber dana), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia); politik padat modal membuat biaya kekuasaan tinggi, mengakibatkan high cost economy; merebakkan korupsi; demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan civic nationalism justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyakat Indonesia, justru dapat melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat, seperti diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi. Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarkhi atau tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang pada awal pertumbuhan demokrasinya ditandai oleh derajat kesetaraan dalam ekonomi, pendidikan, dan dalam kemampuan mempertahankan diri (pemilikan senjata), prasyarat kesetaraan seperti itu belum hadir di negeri ini. Sebagai masyarakat pasca-kolonial yang terus terperangkap dalam dualisme ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri ini. Segelintir orang yang menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan sebagian besar rakyat di sektor tradisional terus termarjinalkan. Hal ini berimbas pada kesenjangan di bidang pendidikan—sekitar 70% warga masih berlatar pendidikan dasar. Bertahannya hierarkhi tradisional feodalisme juga melanggengkan ketidaksetaraan dalam otoritas legal dan kontrol warga atas pemerintah. Dalam multidimensi ketidaksetaraan seperti itu, watak pemerintahan yang akan muncul, Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi sejati. Sejauh yang berkembang hanyalah oligarki dalam mantel demokrasi.
Sementara demokrasi kita bercorak oligarkis, kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada kesetaraan, melainkan bisa juga memperlebar ketidaksetaraan. Liberalisasi politik yang memacu liberalisasi pemilikan dan perusahaan, dalam lebarnya ketimpangan sosial bisa memperkuat dominasi pemodal besar atas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh pemerataan. Dalam memperkuat dominasinya, para pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi. Oligarki yang muncul dari situasi seperti itu bukanlah oligarki yang punya empati terhadap penderitaan rakyat, melainkan yang melayani kepentingan pemodal dan dirinya sendiri.
Singkat kata, lima belas tahun Orde Reformasi, demokrasi Indonesia masih menyimpan banyak persoalan, yang jika tidak diatasi secara segera bisa menimbulkan keraguan umum mengenai kebaikan demokrasi. Meski rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada “sisi-permintaan” (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan “sisi-penawaran” (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.
Ketidakpercayaan rakyat pada politik timbul manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab masalah-masalah kolektif. Masalah-masalah kolektif ini justru timbul ketika institusi-institusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif perseorangan. Bahkan partai politik yang dasar mengadanya diorientasikan sebagai interface, untuk menyatukan aspirasi-aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan negara, sebagian besar justru dikuasai oleh orang per orang (pemodal besar atau dinasti). Akibatnya tidak ada sandaran untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.
Perundang-undangan yang mestinya merupakan “kontrak sosial” dengan warga negara, terdistorsikan oleh kepentingan sempit-sesaat elit politik. Prosedur demokrasi mengalami penjelimetan dan pemborosan sebagai rintangan masuk bagi para pesaing seraya membuka peluang transaksional yang menguntungkan kepentingan oligarki politik.
Perubahan politik harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya dan kepercayaan bahwa rasionalitas kepentingan individual tak akan dibayar oleh irasionalitas kepentingan kolektif. Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus diubah dengan kepercayaan bahwa politik terpercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang sepadan degannya. Sekali aktor politik menunjukkan sinyal bisa dipercaya, maka partisipasi dan kepercayaan rakyat pada politik akan menguat.
Pemulihan rasa saling percaya dan kerjasama itu diarahkan untuk mendorong lahirnya semangat restorasi dan transformasi politik demokratik ke arah yang lebih baik. Visi restoratif politik demokratik menekankan pentingnya menjangkarkan pembangunan politik dan demokrasi pada basis nilai bangsa, terutama nilai-nilai Pancasila. Disain institusi politik dan demokrasi harus dapat mengurasi “the cost of power” yang dapat mendorong korupsi politik. Politik dikembalikan kepada khittahnya sebagai seni untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama.
Solusi atas kelemahan demokrasi tidak ditempuh dengan jalan menguranginya, melainkan justru dengan jalan menambahnya agar lebih demokratis. Karena itu, perlu ada pendalaman dan perluasan demokrasi. Pendalaman demokrasi diarahkan untuk menyempurnakan institusi-institusi demokrasi agar lebih sesuai dengan tuntutan kepatutan etis, lebih responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat; mengurangi sifat narsisme politik yang hanya melayani segelintir elit politik. Sementara perluasan demokrasi diarahkan agar institusi demokrasi dan kebijakan politik punya dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat serta mengurangi kesenjangan sosial yang dapat melumpuhkan demokrasi.
Secara singkat dapat dikatakan, ada dua tantangan besar dalam usaha untuk melakukan pendalaman dan perluasan demokrasi. Pertama, tantangan untuk mengembangkan demokrasi yang berkebudayaan. Kedua, tantangan untuk mengembangkan nlai-nilai budaya yang kondusif bagi pengembangan demokrasi.